- Pasal jantung dari UU Tapera, yakni Pasal 7 ayat (1) bertentangan dengan konstitusi
- MK menyatakan penyematan istilah tabungan dalam program Tapera menimbulkan persoalan
- Mahkamah tidak sependapat dengan petitum alternatif pemohon yang meminta kata “wajib”
“Tapera dibentuk dengan konsep tabungan. Namun, hasil akhir hanyalah pengembalian uang simpanan di akhir masa kepesertaan atau masa pensiun. Skema demikian secara inheren tidak mampu memenuhi tujuan utama, yaitu memberikan akses kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta,” kata Enny.
Oleh karena itu, MK menilai, pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR, harus menata ulang desain pemenuhan hak atas rumah. “Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” ucap Enny.
Menimbang dengan dinyatakannya Pasal 7 ayat (1) UU Tapera bertentangan dengan konstitusi, konsekuensi yuridisnya ialah ketentuan pasal lain yang dipersoalkan pemohon juga kehilangan dasar konstitusionalnya.
Perkara Nomor 96 diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Selain menguji Pasal 7 ayat (1), pemohon juga mempersoalkan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan Pasal 72 ayat (1) UU Tapera.
“Dengan demikian, oleh karena Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 adalah pasal jantung yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 maka tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan UU 4/2016 secara keseluruhan harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” tutur Enny.
Dengan kata lain, Mahkamah melalui putusan ini membatalkan UU Nomor 4 Tahun 2016. Untuk menghindari kekosongan hukum, MK memberikan tenggang waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk menata ulang pengaturan mengenai pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan.
“Menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan a quo diucapkan,” demikian butir lainnya amar putusan MK.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 HP RAM 8 GB Memori 256 GB Harga Rp1 Jutaan, Terbaik untuk Pelajar dan Pekerja
- 7 Sepatu Adidas Diskon hingga 60% di Sneakers Dept, Cocok Buat Tahun Baru
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- Diminta Selawat di Depan Jamaah Majelis Rasulullah, Ruben Onsu: Kaki Saya Gemetar
- Kencang bak Ninja, Harga Rasa Vario: Segini Harga dan Konsumsi BBM Yamaha MT-25 Bekas
Pilihan
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
-
Aksi Adik Kandung Prabowo yang Makin Mencengkeram Bisnis Telekomunikasi
-
Sesaat Lagi! Ini Link Live Streaming Final Futsal ASEAN 2025 Indonesia vs Thailand
-
Cerita 1.000 UMKM Banyuasin: Dapat Modal, Kini Usaha Naik Kelas Berkat Bank Sumsel Babel
Terkini
-
Hari Ibu 2025, Gubernur Khofifah Dorong Penguatan Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan Jatim
-
BRI Raih Penghargaan atas Komitmen terhadap Penguatan Ekonomi Kerakyatan
-
Dihujat Publik, Ini Pengakuan Pembuat Patung Macan Putih yang Viral di Kediri
-
Muslimat NU Gandeng KLH Perkuat Gerakan Pelestarian Lingkungan Berbasis Masyarakat
-
La Suntu Tastio, UMKM Sukses yang Angkat Tradisi Lewat Produk Tas Tenun