Cerita Rakyat di Balik Mitos Kutukan Presiden Lengser Usai Kunjungi Kediri

'Siapa kepala negara yang tidak baik, tidak berbuat baik, maka dia akan runtuh. Itu cerita yang berkembang di masyarakat, folklor.'

Chandra Iswinarno
Senin, 17 Februari 2020 | 16:00 WIB
Cerita Rakyat di Balik Mitos Kutukan Presiden Lengser Usai Kunjungi Kediri
Anggota Tim Pokok Pikiran Kebudayaan (PPKD) Kota Kediri Imam Mubarok. [Suara.com/Usman Hadi]

SuaraJatim.id - Kontroversi seputar pernyataan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung yang mengaku melarang Presiden Joko Widodo berkunjung ke Kediri, karena wilayah tersebut dinilai angker untuk kepala negara menimbulkan polemik di masyarakat.

Pernyataan tersebut disampaikan Pramono di hadapan kiai sepuh pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadien, Lirboyo. Pramono beralasan pernyataan itu mengacu pada pelengseran Presdien keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang sempat mengunjungi Kediri tak lama sebelum dijatuhkan.

Menyikapi pernyataan tersebut, Anggota Tim Pokok Pikiran Kebudayaan (PPKD) Kota Kediri, Imam Mubarok, menjelaskan ada cerita rakyat atau folklor yang melatarbelakangi adanya kutukan tersebut. Folklor tersebut berkaitan dengan Kerajaan Kalingga Selatan.

"Jadi zaman Kerajaan Kediri di era awal abad ke-6 (masehi) itu ada yang namanya Kerajaan Kalingga. Kalingga itu ada Kalingga Utara dan Kalingga Selatan," jelasnya ke wartawan di kediamannya di Kota Kediri, Senin (17/2/2020).

Baca Juga:Kyai Minta Jokowi ke Kediri, Buktikan Tak Akan Lengser

"Kalingga Utara itu berada di Jepara, ratunya Ratu Shima, suaminya namanya Kartikea Singha. Kartikea Singha ini berkuasa di Kalingga Selatan di Keling, Kepung, Kediri," sambungnya.

Gus Barok, panggilan akrab Imam Mubarok, mengatakan pada periode pemerintahan Kartikea Singha sempat disusun Kalingga Dharmasastra yakni semacam undang-undang yang terdiri dari 119 pasal.

"119 pasal inilah yang menjadi patokan salah satunya ketika putranya daripada Ratu Shima sendiri yang terkena hukuman. Karena pada waktu itu membuat woro-woro (pengumuman) tentang adanya penemuan emas di Alun-alun, dan kemudian anaknya sendiri yang mengambil, kemudian harus dipotong tangannya," tuturnya.

Kalingga Dharmasastra itu, kata Gus Barok, kemudian hari menjadi rujukan Wisnuwardhana, Raja Kerajaan Singhasari yang berkuasa tahun 1248-1268 dalam menyusun UU 'Purwadigama Dharmasastra'. Kitab ini terjadi dari 174 pasal.

"Ini (Purwadigama Dharmasastra) adalah penyempurnaan dari Kalingga Dharmasastra," papar Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur itu.

Baca Juga:Bantah Mitos Istana, Kiai Kafa: Gus Dur Lengser Bukan karena Kediri!

Nah, dalam prosesnya muncul dan berkembang cerita rakyat yang menerangkan mengenai kutukan Kartikea Singha. Kutukan itu hingga kini berkembang dan dipercayai sebagian masyarakat Kediri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini