SuaraJatim.id - Pengalaman pahit yang dialami 34 tahun silam, telah meninggalkan trauma mendalam bagi Sumisih (62), Warga Desa Wadung Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur pada Jumat (7/8/2020).
Lantaran kenangan buruk itu pula, ia sulit melepas lahan dan rumahnya untuk dijadikan lokasi proyek strategis nasional (PSN) Presiden Joko Widodo, Kilang Minyak Pertamina -Grass Root Refinery (GRR)- Tuban.
Sumisih mengaku, tempat tinggalnya pernah digusur kala Presiden Soeharto masih bercokol. Kini di lokasi bekas rumahnya itu, telah berdiri pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Tanjung Awar-awar.
Saat menceritakan peristiwa yang dialaminya pada Tahun 1986 silam, suara Sumisih terdengar lirih. Begitu pula cucunya, yang duduk berjajar dengan seksama mendengarkan.
Baca Juga:Ngadu ke Jokowi, 173 Petani Deli Serdang Tiba di Serang, Longmarch 41 Hari
Kala itu, dia mengingat, usianya masih 34 tahun. Keluarganya diminta pindah bersama sejumlah penduduk desa lain di Kecamatan Jenu yang meliputi, Wadung, Mentuso dan Rawasan.
"Dulu penduduk hanya diberi tahu bakal didirikan pelabuhan kayu," ujarnya.
Minimnya pendidikan dan pengetahuan di kala itu, membuat penduduk di sana mengikuti kemauan Pemerintah Orde Baru. Pun lahan serta rumahnya hanya dihargai Rp 600 per meter.
Uang yang terpaksa diterima keluarganya pun kenyataannya tak bisa mencukupi untuk membangun rumah. Agar memiliki tempat bernaung, terpaksa dinding tempatnya bertahan hidup hanya berbahan bambu.
Tak hanya itu, suasana saat itu gelap, tidak ada air, untuk makan pun susah. Ditambah lagi merawat dua anaknya yang masih kecil menjadi persoalan di tempat tinggalnya yang baru kala itu.
Baca Juga:Warga Tolak Jual Lahannya untuk PSN Jokowi, Puluhan Aparat Diturunkan
"Masa-masa itulah yang paling pahit. Sebab kami harus merawat dua anak yang masih kecil. Zaman itu merupakan masa kepemimpinan Pak Soeharto. Jadi, kalau penduduk tidak mau pindah rumah, (warga) takut (akan) dimasukkan penjara," ucapnya.
Menurut Sumisih, kebijakan rezim saat itu yang 'memaksa' warga pindah rumah tidak seperti sekarang yang kerap melakukan sosialisasi.
"Di masa Orde Baru caranya beda. Hening, tidak ada pemberitahuan, hanya pemberitahuan sekali, rapat kemudian diukur dan dikasih waktu 15 hari untuk pindah. Tidak patuh ya begitu (langsung penjara). Tidak seperti sekarang yang ramai (pegawai dan aparat keamanan). Meskipun begitu tetap saja menakutkan," katanya.
Pun Sumisih kembali berkisah, waktu itu warga ketiga desa yang digusur memutuskan tidak ingin melakukan protes keras, lantaran takut dengan ancaman kurungan.
"Sempat almarhum (suami Sumisih) menolak kebijakan waktu itu. Lalu ditakut-takuti akan dibawa paksa. Untungnya masih ditolong kakek. Si kakek malah mengancam balik, jika cucuku (suaminya) kalian bawa, Tuban akan kujadikan merah. Memang waktu itu kakek adalah orang hebat," jelasnya.
Akhirnya, dengan terpaksa keluarganya menuruti keinginan pemerintah. Percuma saja jika melawan, katanya, karena tidak ada warga yang berani menentang rezim saat itu.
![Warga Desa Sumurgeneng dan Wadung, Kecamatan Jenu mendatangi kantor BPN Tuban meminta tidak lagi mengukur tanah yang tidak akan dijual oleh warga, Senin (3/8/2020). [Suara.com/Andri Yanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/08/03/19078-warga-desa-sumurgeneng-dan-wadung-kecamatan-jenu-mendatangi-kantor-bpn-tuban.jpg)
Terpaksa Pindah
Pun mereka kemudian memilih pindah membangun rumah dan membina bahtera keluarganya di tempat tinggal yang baru, Desa Wadung RT 01/RW 03.
"Semenjak itu dalam hati (saya) bersumpah jangan sampai kejadian ini terulang lagi pada anak dan cucuku. Tapi setelah beberapa puluh tahun, tepatnya pada Januari 2019. Rumah kami kembali terancam oleh rencana pemerintah yang bakal dijadikan kilang minyak atau tempat pengolahan minyak."
Tak mau kejadian serupa terulang, segala cara telah dilakukannya untuk mempertahankan lahan dan rumahnya. Mulai berdoa siang dan malam, memasang papan di depan rumahnya, bertuliskan 'Tanah Kami Harga Mati, Tidak Dijual', hingga menolak pengukuran tanah dan unjuk rasa di kantor BPN.
Selain itu, dia bersama belasan pemilik lahan yang lain telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo dengan harapan tidak digusur kembali.
"Kami hanya ingin tinggal di sini (Desa Wadung)," harapnya.
Namun, kenyataan berkata lain. Senin (3/8/2020) menjadi hari yang tak bakal dilupakan Warga Desa Kedung dan Sumurgeneng Kecamatan Jenu.
Pagi itu, mereka dikejutkan dengan keberadaan dua peleton aparat yang tiba-tiba datang diturunkan untuk mengamankan proses pengukuran lahan di lahan milik warga yang tidak dijual itu.
Berdalih proyek rencana strategis nasional (RSN) kilang minyak, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tuban melakukan pengukuran di area lahan milik warga. Akibatnya, warga menolak keras dan menggeruduk kantor BPN Tuban di jalan Dr Wahidin Sudirohusodo.
Saat Suara.com mengonfirmasi mengenai hal tersebut, Kepala kantor BPN Tuban Ganang Anindito menyatakan, instansinya telah menargetkan bisa menyelesaikan pengadaan tanah kilang minyak pada September 2020, meski mendapatkan penolakan warga.
Dia mengemukakan, pengadaan lahan tersebut terdiri dari 489 hektare tanah milik warga, kemudian 348 hektare milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan sisanya sekitar 110 hektare lahan milik Perhutani.
"Semuanya sudah clear tinggal tanah milik warga. Dari 489 hektar terdiri sekitar 1.200 bidang tanah dan sekitar 1.100 sudah selesai. Tinggal 20-an bidang yang belum," katanya.
Sementara itu, Kepala Desa Wadung Sasmita mengatakan pemilihan lokasi PSN kilang minyak tersebut oleh pemerintah pusat sudah strategis. Dia mengemukakan, sebelumnya, sempat ada rencana pembangunan kilang minyak di dekat PLTU Paiton.
"Tetapi karena lokasinya dekat dengan tempat latihan militer, tidak jadi. Setelah itu tidak tahu, Pemerintah memilih lokasi ini (dekat Tanjung Awar-awar) mungkin karena strategis. Sebab dekat dengan Petrokimia, PLTU dan Elpiji," ujarnya.
Kontributor : Andri Yanto