SuaraJatim.id - Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat telah menetapkan penggunaan Vaksin Astrazeneca diperbolehkan untuk disuntikan, namun penentangan penggunaan vaksin tersebut masih bermunculan dari kalangan pondok pesantren. Seperti disampaikan Pengasuh Ponpes Amanatul Ummah Dr KH Asep Syafudin Chalim, MA yang menolak penggunaan Vaksin Astrazeneca di pondoknya.
Kiai Asep, sapaan KH Asep Syafudin Chalim, menyatakan ada kandungan pankreas babi dalam vaksin yang diproduksi di beberapa negara tersebut.
Pun dia menafsirkan fatwa MUI pusat yang menyatakan Haram Mubah liddoruroti (sifat asalnya haram, namun boleh digunakan ketika dalam keadaan bahaya) tidak bisa diberlakukan di ponpesnya, lantaran sampai detik ini tidak ada yang terpapar Covid-19.
Dengan demikian, lanjutnya, keadaan darurat seperti yang disyaratkan hilang, yang ada Vaksin Astrazeneca haram (terlarang) secara mutlak.
Baca Juga:MUI Akan Larang Penggunaan Vaksin Covid-19 AstraZeneca, Jika...
"Sejak tanggal 15 Juli masuk tanggal 13 Juli hari Senin kami biasanya memulai pelajaran itu pada hari Rabu. itu berarti 15 Juli tidak libur, tidak pernah mengurangi jam pelajaran, murid belasan ribu tidak ada satupun yang kena Virus Corona," ujarnya ketika memberikan tausyiah saat Agenda Pengukuhan Pengurus Cabang Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Kota dan Kabupaten Mojokerto seperti dilansir Timesindonesia.co.id-jaringan Suara.com pada Rabu (24/3/2021).
Lantaran itu pula, dia berharap umat Islam untuk kembali memahami fatwa MUI Nomor 13 Tahun 2021 yang ditandatangani pada 16 Maret 2021.
"Membaca fatwa MUI Pusat nomor 14 tahun 2021 yang ditandatangani pada 16 Maret 2021 bahwa MUI Pusat memfatwakan terhadap Vaksin Astrazeneca haram mubah liddoruroh. Haram karena memang hukumnya haram. Tetapi mubah boleh dipakai apabila darurat. Tapi ketika daruratnya hilang maka menurut hukumnya haram mutlak. Karena di Amanatul Ummah ini tidak ada darurat maka hukumnya haram mutlak," tegasnya.
Tak hanya itu, dia juga mengajak untuk mengkaji lagi fatwa MUI terkait penggunaan vaksin Astrazeneca yang berasal dari penelitian di Oxford, Inggris.
"Kenapa MUI Jatim itu mengeluarkan fatwa, bahwa fatwa ini kita bandingkan. Yang satu berdasarkan kajian ilmiah melalui seminar dan kajian akademis ada konsederannya yang MUI Jawa Timur ini cuman satu lembar dan tidak ada itu semua (konsederan, kajian ilmiah, kajian akademis). Mari kita kaji sebentar," seru Kyai Asep.
Baca Juga:Kiai Mukri Aji: Vaksin Astrazeneca Mengandung Babi, Secara Islam Boleh
Dia juga menyoroti, fatwa MUI Jatim yang hanya memiliki satu lembar tanpa dilengkapi konsideran, kajian ilmiah, dan kajian akademis yang dinilai buruk.
Pun, masih menurutnya, MUI Jatim memfatwakan Vaksin Astrazeneca dengan alasan istikhalah (barang yang aslinya haram menjadi halal) dan dihukumi Halalan Toyyiban (diizinkan dengan kualifikasi baik).
"Alasannya istikhalah. apa istikhalah itu? Yang aslinya haram dihalalkan. Yang tadinya babi haram jadinya halal. Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un. istikhalah adalah pintu masuk menghalalkan produk-produk babi yang haram menjadi halal," ucapnya.
Lantaran hal tersebut, dia menyayangkan adanya upaya membuat doa umat muslim menjadi mandul. Yakni, memasukkan vaksin yang haram tersebut dalam kepercayaan Agama Islam dapat membuat doa seseorang sulit untuk dikabulkan.
"Bahwa istikhalah adalah pintu masuk dari adanya upaya untuk membuat doa-doa orang muslim mandul semua," paparnya.
Lebih lanjut, dia juga menyebut adanya Intifaq, yakni syarat wajib adanya suatu benda tertentu untuk bisa melengkapi utuhnya suatu produk.
"Tidak bisa dibantah, bahwa kita dibuat-buat, kita dipaksa-paksakan karena apa? Bapak dan saudara-saudara sekalian ada intifaq. Yang tidak bisa dipungkiri Intifaq itu menunjukkan adanya babi di situ. Intifaq itu artinya andaikan pankreas babi tidak dimasukkan maka tidak jadi vaksin, itu namanya intifaq. Kami sampaikan kenapa sampai ada fatwa semacam itu. Kami menginginkan ketua-ketua MUI Jawa Timur ke sini, bersama dengan ketua MUI Pusat ke sini," tegas Kyai Asep.
Tak hanya itu, dia juga menilai fatwa MUI Jawa Timur itu produk su'ul adab (perilaku tercela) terhadap hubungan koordinasi dengan MUI Pusat.
"Fatwa MUI Jawa Timur menurut saya adalah produk su'ul adab. Karena pastinya mestinya harus ada koordinasi dengan MUI Pusat sebelum ada pengeluaran fatwa itu," ungkapnya.
Kemudian, dia juga kembali mengajak untuk membandingkan dua fatwa MUI baik pusat maupun Jawa Timur.
"Nah ini, kita memiliki dua fatwa yang satu terdiri dari 13 lembar yang ada konsederannya, yang ada kajian ilmiahnya, yang ada kajian akademisnya, yang satu cuma satu lembar. Betapa gegabahnya fatwa itu dikeluarkan," katanya,
Terakhir, dia menegaskan kembali penolakannya menggunakan vaksin Astrazeneca masuk ke Pondok Pesantren Amanatul Ummah, baik untuk santrinya, stafnya dan siapapun.
"Saya mendukung program vaksinasi baik pemerintah Kabupaten, Jatim asalkan jangan vaksin Astrazeneca."