SuaraJatim.id - Seiring dengan perkembangan teknologi, ide dan gagasan manusia juga terus berkembang. Teknologi ini mengubah cara hidup manusia, termasuk soal urusan ibadah dalam agama.
Beberapa waktu lalu, bahkan pemerintah Kerajaan Arab Saudi pada akhir Desember 2021 ini membuat proyek bernama Virtual Black Stone Initiative yang dilengkapi dengan Kabah metaverse.
Kabah metaverse bisa dikunjungi oleh orang dari berbagai belahan dunia dengan realitas virtual. Lalu ada seorang yang bertanya tentang, kalau Kabah bisa dikunjungi secara virtual, lantas apakah pelaksanaan haji di metaverse ini dapat dimungkinkan?
Pertanyaan ini disampaikan seorang penanya di kolom tanya jawab bahtsul masail Nuonline.or.id. Lalu begini jawaban pengasuh rubrik tanya jawab itu:
Baca Juga:Apa Itu Metaverse? Kenali Arti dan Cara Kerjanya
"Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Kemajuan teknologi merupakan sebuah keniscayaan. Kemajuan teknologi ini juga memberikan banyak kemudahan kepada manusia.
Adapun kemudian keberadaan Kabah virtual itu berkembang menjadi diskusi perihal pelaksanaan ibadah haji secara virtual di metaverse. Di Indonesia sendiri masalah ini baru diperbincangkan akhir-akhir ini. Belum ada kajian mendalam perihal pelaksanaan ibadah haji secara virtual di Indonesia.
Sebagai diskusi awal, kami akan menarik pembahasan ibadah haji secara virtual dari pandangan ulama fiqih mazhab Syafi’i yang mengharuskan pelaksanaan thawaf secara fisik (sebagai salah satu rukun haji) di dalam Masjidil Haram.
“Wajib tidak melaksanakan thawaf di luar masjid sebagaimana wajib tidak melaksanakannya di luar kota Makkah dan Tanah Haram,” (Ar-Rafi’i, Al-Aziz bi Syarhil Wajiz, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1997 M/1417 H], juz III, halaman 395).
Kehadiran jamaah haji secara fisik merupakan syarat sah thawaf. Bahkan jamaah haji dianjurkan untuk mendekat pada Ka’bah saat pelaksanaan thawaf. Kalau pun boleh agak jauh dari Ka’bah, maka thawaf dianggap sah selagi masih dilaksanakan secara fisik di dalam Masjidil Haram.
Baca Juga:Apa Itu Perpolisian Metaverse, Benarkah Bisa Amankan Dunia Virtual?
“Kami telah sebutkan bahwa (orang yang thawaf) dianjurkan dekat dengan Ka’bah tanpa perbedaan pendapat ulama. Nash-nash dari Imam As-Syafi’i dan ashhab bersepakat, boleh mengambil posisi agak jauh (dari Ka’bah) selama masih di area Masjidil Haram. Umat Islam bersepakat atas masalah ini. Mereka juga bersepakat, seandainya seseorang melakukan thawaf di luar masjid, maka thawafnya tidak sah,” (An-Nawawi, Al-Majemuk, [Kairo, Al-Maktabah At-Tawfiqiyah: 2010 M], juz VIII, halaman 43).
Demikian juga dengan rukun haji lainnya, yaitu sai dan wukuf. Mazhab Syafi’i mengharuskan kehadiran fisik jamaah haji untuk wukuf di Arafah meskipun hanya sejenak. Kehadiran fisik jamaah haji walau sejenak merupakan syarat sah wukuf di Arafah meski jamaah itu mendatanginya, berdiam, atau sekadar melalui kawasan Arafah.
“Yang diakui dalam hal ini (wukuf) adalah kehadiran fisik di Arafah sejenak dengan syarat jamaah adalah (memenuhi syarat sebagai) ahli ibadah baik ia mendatangi, berdiam, atau sekadar melewatinya,” (An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman 374).
Pada prinsipnya, pelaksanaan ibadah haji (setidaknya menurut Mazhab As-Asyafi’i) mengharuskan kehadiran jamaah haji secara fisik. Tanpa kehadiran fisik, rangkaian manasik haji tidak sah menurut syariat. Dengan demikian manasik haji virtual tidak sah. Bangunan argumentasi atas pandangan ini didasarkan pada hadits riwayat Muslim sebagai berikut:
“Dari sahabat Jabir ra, ‘Aku melihat Rasulullah saw memberikan isyarat dari atas untanya pada hari Nahar (10 Zulhijjah), ia bersabda, ‘Hendaklah kalian memegang dariku cara manasik kalian. Aku sendiri tidak tahu, mungkin aku tidak dapat melakukan haji lagi setelah hajiku tahun ini,’’” (HR Muslim).
Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca."