SuaraJatim.id - Meninggalnya Albar Mahdi masih menjadi pembahasan khalayak. Ia merupakan santri di pondok pesantren Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) Ponorogo Jawa Timur ( Jatim ).
Kini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ikut berkomentar terkait kasus tersebut. Menurut organisasi itu, kejadian tersebut tidak bisa ditoleransi.
Walau, kepolisian sudah menetapkan dua orang sebagai tersangka. Yakni berinisial MFA asal Tanah Datar, Sumatera Barat dan IH asal Pangkal Pinang, Bangka Belitung.
Pun, mereka juga menyoroti pengawasan yang dilakukan Ponpes itu terhadap para santri. Perlu adanya evaluasi untuk pengawasannya.
Baca Juga:Dua Senior Jadi Tersangka Kasus Santri Gontor Tewas, Salah Satunya dari Sumbar
Agar, kejadian serupa, tidak akan terulang kembali. Biasanya, ponpes pada umumnya, memanfaatkan santri senior untuk melakukan pengawasan.
"Dalam hal ini yang melakukan kekerasan adalah kakak kelas. Apakah selama ini ada teguran ketika para santri senior yang bertugas mengawasi santri junior melakukan kekerasan," kata Kepala Divisi Pengawasan dan Monitoring Evaluasi (Kadivwasmonev) KPAI Jasra Putra, Selasa (13/9/2022).
Ia juga mempertanyakan apakah ada ketentuan atau aturan di ponpes bahwa, tidak diperkenankan melakukan kekerasan dengan alasan apapun.
Walau, itu berlindung di balik kata ‘mendisiplinkan’. Namun, apapun itu, ia sangat mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan di dunia pendidikan.
Apalagi, sampai mengakibatkan kematian salah satu santri. "Berdasarkan informasi yang kami peroleh, sebenarnya ada 3 santri menjadi korban kekerasan fisik. Namun satu orang meninggal. Dua lainnya kemungkinan besar mengalami luka fisik," jelasnya.
Baca Juga:Innalillahi, Anak Soimah Meninggal Dunia, Diduga Akibat Penganiayaan
Dua santri lain tersebut, harus dipastikan oleh Kementerian Agama (Kemenag) dan jajarannya, agar segera mendapatkan haknya. Tentu untuk mendapatkan rehabilitasi medis. Serta psikis akibat kekerasan yang dialaminya.
"Mengalami kekerasan dan melihat kawannya mendapatkan kekerasan hingga tewas, sangat mungkin kedua anak tersebut berpotensi kuat mengalami gangguan psikologis. Oleh karenanya diperlukan adanya assesmen psikologi segera oleh lembaga layanan di daerah," tandasnya.
Tapi, Jasra menghormati dan mendukung proses hukum yang sedang dilakukan aparat penegak hukum. Serta mendorong penggunaan UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
"Seharusnya tidak semua ditimpakan kepada pelaku. Pihak Ponpes harus ikut bertanggungjawab. Juga karena tindakan kekerasan terjadi diduga kuat akibat lemahnya sistem pengawasan ponpes. Kalau sistem pengawasannya bagus, tidak mungkin peristiwa seperti ini terjadi," tegasnya.
Kontributor: Yuliharto Simon