SuaraJatim.id - Dosen Universitas Jember (Unej), Muhammad Iqbal punya cara sendiri mengawal putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Iqbal memasang bendera setengah tiang di depan rumahnya sebagai bentuk protes. Dia tidak sepakat dengan DPR yang terkesan mengebut pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada.
“Revisi UU Pilkada super kilat dan akrobat dagelan DPR yang ugal-ugalan ini bukan lagi soal siapa mencalonkan siapa, tapi sudah secara vulgar menghina dan menista Konstitusi dan demokrasi bangsa,” katanya dikutip dari BeritaJatim--jaringan Suara.com, Kamis (22/8/2024).
Dia menilai, langkah yang dilakukan DPR sebagai penyandaraan sistem tatanan bernegara. “Ini memporak-porandakan akal sehat berbangsa dan bernegara,” tegasnya.
Baca Juga:Daftar 23 Pasangan Bakal Calon Jagoan PAN Jatim di Pilkada 2024
Iqbal menyinggung mengenai fenomena munculnya calon tunggal di sejumlah Pilkada. Partai politik disebutnya tidak berkutik dengan pasal 40 di UU Pilkada terkait syarat ambang batas pendaftaran pasangan calon untuk bisa maju.
“Kebebasan untuk pencalonan bagi partai yang punya kursi di parlemen jadi sangat terbatas,” kata Iqbal.
Sementara itu, partai-partai yang sebenarnya punya akumulasi suara sah, namun tidak punya kursi di parlemen terkunci. Hal politiknya jadi terkunci.
Di lain sisi, isu pragmatisme menjangkit sebagian partai. Mereka memilih bergabung dengan koalisi besar, sehingga muncul calon tunggal.
Keputusan MK Nomor 60 Tahun 2024 memberikan peluang untuk memperbanyak calon kepala daerah yang maju di Pilkada. “Layaknya jadi penjebol gembok yang selama ini membelenggu dan mengunci mati keragaman pasangan calon berkontestasi dalam demokrasi pilkada,” kata Iqbal.
Baca Juga:Rizki Sadig Ungkap Alasan PAN Beri Rekom ke Eri Cahyadi-Armuji untuk Pilwali Surabaya
“Maka, jika dikatakan kalau Putusan MK nomor 90 Tahun 2023 yang memuluskan pencalonan Gibran dalam pilpres adalah kemenangan politik dinasti, maka Putusan MK nomor 60 adalah kemenangan demokrasi,” imbuhnya.