- Sarung sudah dikenal sejak abad ke-14, dibawa pedagang Arab, kini jadi simbol kesederhanaan santri.
- Bagi santri, sarung bukan sekadar kain, tapi identitas, adab, dan simbol kesetaraan di pesantren.
- Dari masjid hingga rumah, sarung hadir sebagai lambang kesopanan, kebersamaan, dan budaya bangsa.
4. Serba Guna dan Praktis
Keunggulan utama sarung adalah kepraktisannya. Untuk salat, sarung tinggal dipakai. Untuk tidur, bisa langsung dijadikan selimut. Saat mengaji, sarung memberi kenyamanan saat duduk bersila di serambi pesantren. Bahkan ketika santri bermain bola di halaman pondok, sarung bisa dilipat menjadi celana dadakan.
Di banyak pondok, sarung juga jadi barang multifungsi. Kadang dijadikan tirai, alas tidur, atau gendongan untuk membawa barang. Kepraktisan ini membuat sarung selalu menjadi bagian dari keseharian santri di mana pun berada.
5. Punya Nilai Sakral dan Nasional
Baca Juga:Dua Santri Masih Hidup di Bawah Reruntuhan Pesantren Al-Khoziny: Tim SAR Berpacu dengan Waktu
Di balik fungsinya yang sederhana, sarung memiliki nilai sakral. Dalam berbagai tradisi Nusantara, sarung digunakan pada acara adat, pernikahan, pengajian, dan kegiatan keagamaan.
Banyak tokoh bangsa, dari ulama hingga presiden, mengenakan sarung dengan bangga. Pakaian ini menjadi lambang penghormatan terhadap akar budaya sekaligus kesalehan pribadi.
Sejak tahun 2019, Indonesia menetapkan tanggal 3 Maret sebagai Hari Sarung Nasional. Peringatan ini menjadi pengingat bahwa sarung bukan hanya pakaian, tetapi bagian dari jati diri bangsa, dengan para santri sebagai penjaga tradisinya.
6. Gaya Pakai yang Beragam
Sarung punya gaya pemakaian yang beragam, tergantung pada kebutuhan dan kebiasaan. Ada gaya rapi untuk ke masjid, gaya tinggi untuk bermain bola, dan gaya longgar ala bapak-bapak saat santai sore. Di pesantren, santri punya cara khas: sarung dilipat dengan simpul di depan agar tetap sopan dan mudah bergerak.
Baca Juga:Detik-Detik Musala Ponpes di Sidoarjo Runtuh: Kesaksian Santri Selamatkan Diri
Kadang terjadi juga hal lucu: sarung melorot saat sedang berjalan atau mengaji. Namun semua itu menjadi bagian dari cerita keseharian yang hangat. Di balik gaya sederhana itu tersimpan makna kedisiplinan, kerapian, dan rasa hormat terhadap lingkungan sekitar.
7. Lambang Kehangatan dan Kebersamaan
Sarung juga menggambarkan kehangatan hubungan antar manusia. Banyak momen kebersamaan dalam budaya Indonesia yang tidak lepas dari sarung. Di pesantren, santri duduk bersarung bersama saat mengaji malam hari.
Pagi hari, sarung yang sama dipakai lagi untuk belajar atau membantu kegiatan pondok.
Di rumah, ayah duduk bersarung sambil menyeruput kopi, anak-anak bermain petak umpet dengan sarung sebagai alat sembunyi, dan kakek duduk di teras menikmati sore.
Semua menggambarkan rasa nyaman yang sederhana namun tulus. Sarung menjadi simbol kebersamaan lintas generasi dan lapisan masyarakat.