Scroll untuk membaca artikel
Reza Gunadha
Sabtu, 02 November 2019 | 20:32 WIB
Aliran Sungai Bengawan Solo mengering. [Suara.com/Tofan Kumara]

SuaraJatim.id - Warga Desa Jrebeng, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, yang berada di bantaran Bengawan Solo, harus bersusah payah mencari sumber air bersih untuk kebutuhan memasak, minum dan mandi.

Sebabnya, air pada Bengawan Solo menyusut. Padahal, Bengawan Solo adalah andalan warga setempat untuk mendapatkan pasokan air bersih.

Pantauan Suara.com, Sabtu (2/11/2019), Bengawan Solo mengering hingga tampak pasir dan endapan lumpur yang mengering. Selain itu, tidak ada sumur sebagai sumber air bersih.

Namun, rata-rata setiap rumah memiliki saluran air dari PDAM milik Badan Usaha Milik desa (BUMdes) yang sudah beroperasi kurang lebih sepuluh tahun.

Baca Juga: Langka, Bengawan Solo di Kabupaten Gresik Kering

Seorang warga Jrebeng saat memandikan anaknya dengan air PDAM milik BUMdes Jrebeng dari bendungan Bengawan yang keruh dan bau saat musim kemarau, Sabtu (2/11/2019). [Suara.com/Tofan Kumara]

Meski begitu, warga Desa Jrebeng mengunakan air PDAM yang diambil dari bendungan Dukun lama hanya untuk kebutuhan mandi. Untuk kebutuhan minum dan memasak rata-rata warga membeli air bersih.

Salah satu warga, Jrebeng Riyatun (38), mengaku setiap rumah memiliki saluran air PDAM dari BUMdes.

Namun, airnya yang saat musim kemarau seperti sekarang sedikit keruh, berbau dan payau. Alhasil, air itu hanya bisa di gunakan untuk mandi.

"Air PDAM ini hanya untuk mandi. Itupun kalau mandi pakai air ini, badan terasa gatal dan lengket. Airnya keruh dan bau, mau bagaimana lagi, tidak ada air bersih. Desa ini sangat sulit sumber air, menggali sumur saja harus sedalam 200 meter dan airnya pun payau," kata Riyatun.

Ibu dua anak itu melanjutkan, untuk kebutuhan minum dan memasak, warga terpaksa harus membeli air bersih dari desa tetangga yang airnya bersih dan tawar.

Baca Juga: Kekeringan, Warga Jebreng Salat Istisko di Tengah Bengawan Solo

"Untuk minum dan masak, saya dan semua warga Jrebeng membeli air bersih dari tetangga desa seharga Rp.1000 per jiriken, itupun hanya biasanya 10 jeriken sehari sudah habis," ucap Riyatun.

Hal yang sama dirasakan Aminatun (49), yang memiliki usaha warung kopi di desa Jrebeng. Untuk kebutuhan masak dan minum, Ia harus membeli air isi ulang atau membeli dari penjual air sumur dari desa tetangga.

"Ya, saya beli air isi ulang atau beli dari penjual air bersih untuk warung kopi saya. Air PDAM milik BUMdes yang ada tidak bisa untuk di minum," ucap Aminatun.

Dengan kondisi seperti ini, Aminatun berharap Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkab Gresik memberikan kembali bantuan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

"Bantuan air bersih dari BPBD Pemkab sudah diberikan ke warga tapi sudah lama, kira-kira bulan lalu, itupun hanya satu dua tangki air bersih, hanya cukup satu dua hari saja. Warga berharap bantuan air bersih lagi selama musim kemarau ini untuk kebutuhan sehari-hari," kata Riyatun.

Petani Rugi

Selama tiga bulan Bengawan Solo mengering, warga Desa Jrebeng terutama petani, merugi puluhan juta rupiah akibat gagal panen pada sektor pertanian dan peternakan.

Puluhan hektare sawah di Desa Jrebeng mengering. Petani tidak bisa menanam padi atau tanaman lainnya.

Air dari Bengawan Solo tidak bisa mengalir karena kering. Pun demikian dengan tambak-tambak di Desa Jrebeng.

Sutrisno (35) menceritakan, keringnya Bengawan solo ini berimbas pada pertanian dan tambak. Petani tidak bisa bercocok tanam disebabkan tidak ada air untuk dialirkan ke sawah. Sedangkan petambak tidak bisa beternak ikan karena kesulitan air.

Aliran Sungai Bengawan Solo mengering. [Suara.com/Tofan Kumara]

"Petani dan petambak mengambil air Bengawan dengan diesel untuk mengaliri lahan dan tambak. Bengawan kering, lahan semua jadi kering, kita tidak bisa apa-apa," kata Sutrisno, Sabtu (2/11/2019).

Bapak satu anak itu menceritakan, musim kemarau tahun 2019 ini sangat berbeda dengan tahun lalu. Musim kemarau tahun 2018, Bengawan Solo masih ada air meski sedikit, sehingga petani dan petambak tetap bisa bekerja.

Dengan kondisi seperti sekarang, tambak dan sawah jadi kering, warga tidak bisa mengambil air dari Bengawan, sehingga menderita kerugian puluhan juta rupiah.

"Kamia tidak bisa bertani, padi di sawah tidak bisa dialiri air. Tambak-tambak yang ada di desa sekitar Bengawan juga kering semua. Seperti saya, tidak bisa menanam padi, kalau di perkirakan kerugian bisa puluhan juta akibat gagal panen," ucap Sutrisno.

Kontributor : Tofan Kumara

Load More