Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Senin, 31 Mei 2021 | 16:27 WIB
Asap putih keluar dari pusat semburan terlihat dari kolam penampungan di titik 21, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (23/7).

SuaraJatim.id - Sudah 15 tahun bencana lumpur lapindo berlangsung. Namun hingga kini, belum ada tanda-tanda semburan itu berhenti.

Padahal bencana itu, sesuai data Pos Kordinasi untuk Keselamatan Lumpur Lapindo (Posko KKLULA), sudah menenggelamkan padat huni seluas lebih dari 800 hektare dan mengakibatkan pemindahan paksa 20 ribu keluarga.

Atas bencana ini, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim menuding pemerintah sengaja melakukan pembiaraan. Bahkan pemerintah dianggap tidak bertanggung jawab atas penyelamatan ruang hidup rakyat.

Sebab belasan tahun berlangsungnya bencana itu, berimbas pada kualitas lingkungan, baik air, udara, dan tanah di sekitar pusat semburan lumpur menurun drastis.

Baca Juga: MPP Mudahkan Masyarakat Akses Layanan Publik

Pembiaraan itu dibuktikan Walhi, ketika pemerintah mengizinkan industri migas berdiri di wilayah padat huni. Padahal jarak terdekat dari sumur Jatirejo, lokasi penyemburan itu sekitar 200 meter padat dari penduduk.

"Sungguh suatu yang sangat mencengangkan sebuah industri dengan resiko yang besar berada pada padat huni," kata Kordinator Walhi Jatim Rere Christanto dalam diskusi 15 Tahun Bencana Lapondo secara online, Senin (31/5/2021).

Lebih lanjut, Rere juga menyebut, ketika sumur banjar panji 1 berjalan, mereka bahkan belum menyelesaikan dokumen Analisis dampak lingkungan (Amdal) tapi dibiarkan beroperasi.

Kemudian bagaiamana masyarakat membiarkan, karena mereka membangun dengan kebohongan. Mengakali lahan sekitar, tidak disebut sebagai pertambangan migas. Melainkan disebut sebagai perternakan.

"Dari tiga hal ini sebelum semburan ini muncul, sudah ada tendensi besar bahwa sebetulnya negara tidak memberikan keselamatan masyarakat, yang berujung pada bencana," terangnya.

Baca Juga: 15 Tahun Lumpur Lapindo

"15 tahun berjalan, rakyat dibiarkan menderita. Asumsi dasar pemerintah, kasus lapindo sudah selesai. Urusan ini hanya berkaitan dengan ganti rugi bangunan," tambahnya.

Selain itu, Walhi juga menjelaskan, dampak dari bencana yang paling dominan pada persoalan sekotor ekonomi. Dua tahun pertama setelah semburan Lapindo, ada sekitar 3001 usaha informal mikor kecil menengah guling tikur. Sebanyak 24 pabrik yang tenggelam, kira-kira ada sebanyak 166 ribu karyawan yang kehilangan pekerjaan.

Bapemas sendiri di tahun pertama membuat catatan tafsiran kerugian pertama ekonomi langsung sekitar Rp 7,3 triliun dengan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 trilun.

"Artinya ada banyak kerugian yang begitu besar yang tidak dibayangkan oleh pemerintah harus dihadapi setiap hari oleh masyarakat selama 15 tahun," jelasnya.

Disamping itu, sekotor pendidikan juga mengalami kerugian besar. Data Walhi membeberkan, ada sebanyak 63 unit pendidikan dari tingkat TK sampai SMA yang tenggalam. Tapi tidak pernah dibangun kembali oleh pemerintah.

"Orang-orang yang dulu misalnya sektor kerja toko harus dipaksa pindah ke lokasi baru, bisa menjalan usahanya seperti dahulu. Begitu dia pindah ke lokasi baru besar kemungkinan mengalami penurunan. Begitu juga sektor lain, seperti buruh tani, buruh bangunan," tukasnya.

Kontributor : Amin Alamsyah

Load More