Chandra Iswinarno
Senin, 10 Oktober 2022 | 14:02 WIB
M Subechi Azal Tsani keluar dari ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Surabaya usai menjalani persidangan dalam kasus pencabulan terhadap santriwati pada Senin (10/10/2022). [Suara.com/Yuliharto Simon]

SuaraJatim.id - Tatapan putus asa terlihat jelas dari wajah M Subechi Azal Tsani, ketika keluar dari ruang sidang Cakra, Pengadilan Negeri (PN) Kota Surabaya. Ia baru saja mendengarkan tuntutan yang diberikan jaksa penuntut umum (JPU). Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim Mia Amiati yang langsung amar tuntutan itu.

Pria yang akrab disapa Bechi itu, duduk di kursi pesakitan karena diduga melakukan pelecehan seksual yang dilakukan kepada peserta didiknya di Pesantren Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah Jombang. Pesantren itu milik ayahnya Kyai Muchtar Mu'thi. Jaksa memohon kepada majelis hakim agar menjerat, Bechi dengan pasal Pasal 285 Jo. Pasal 65 ayat 1 KUHP. Penjara selama 16 tahun.

"Kami menuntut dengan ancaman maksimal. Karena pasal 285 KUHP ini hukumannya 12 tahun. Maka ditambah 1/3 dari pasal 65, maka total 16 tahun penjara. Itu yang kami ajukan tadi di persidangan," kata Mia usai persidangan, Senin (10/10/2022).

Dalam tuntutan itu, Mia tidak memberikan satu pun pertimbangan yang meringankan. Karena menurutnya, sepanjang persidangan berlangsung, tida ada satu pun hal yang bisa dijadikan alat pertimbangan.

"Dari saksi-saksi, alat bukti, dan ahli yang kami hadirkan, tidak ada yang bisa dijadikan pertimbangan yang meringankan," tegasnya.

Namun, penasihat hukum terdakwa I Gede Pasek Suardika sangat kecewa dengan tuntutan yang diberikan jaksa. Ia merasa semua saksi yang dihadirkan dalam persidangan, tidak diperhitungkan.

Padahal, saksi itu adalah orang yang ikut memberikan keterangan dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Parahnya, jaksa tidak mengakui keterangan yang diberikan dalam persidangan.

"Saksi yang kami hadirkan itu adalah bagian dari 40 orang yang rencananya akan dihadirkan jaksa dalam persidangan. Namun, ketika 16 orang sudah dihadirkan, jaksa menganggap itu sudah cukup. Jadi kami yang hadirkan. Jaksa menganggap saksi itu yang memberatkan. Tapi, kenapa tidak mengakui keterangan mereka? Nama mereka kan dicatut dalam kejadian tersebut," tegasnya.

Ia juga menilai bahwa percuma sidang tersebut dilakukan. Karena, konsep awalnya adalah menghukum seberat-beratnya. Sehingga, harusnya tidak diperlukan pemeriksaan saksi.

Baca Juga: Masyarakat Bisa Awasi Proses Sidang Mas Bechi, Komisi Yudisial: Bila Ada Hakim Melanggar Kode Etik, Laporkan!

"Langsung saja baca dakwaan lalu tuntutan. Nggak perlu harus ada pemeriksaan saksi dan segala macamnya. Toh, kembali ke desain awalnya juga," ucapnya.

Muncul pertanyaan besar dalam benak Gede. Apakah di ruangan sidang itu adalah peradilan atau penghakiman? Jika pengadilan, menurutnya dasar katanya Adil. Menguji alat bukti. Saling berkesesuaian atau tidak.

"Tapi kalau penghakiman ya, pastinya mengenyampingkan semua bukti yang ada," celetuknya. Tapi, dalam persidangan selanjutnya, ia dan tim penasihat hukum Bechi akan mengajukan pembelaan (Pledoi).

Gede juga menjelaskan alasan jaksa memberikan pasal 65 kepada kliennya. Menurutnya itu karena kejadian yang dilakukan terdakwa dilakukan berulang.

Lagi-lagi dari saksi yang ia hadirkan dalam persidangan tidak mengakui adanya kejadian tersebut. Padahal, saksi itu namanya dicatut dalam dakwaan. Mereka diduga terlibat dalam kejadian tersebut.

"Tapi, jaksa tidak mengakui keterangan tersebut. Untuk apa kita hadirkan dan memeriksa saksi, kalau ternyata keterangannya tidak dipakai. Pledoi kita nanti itu simpel saja. Kami akan tuliskan semua fakta persidangan yang terjadi. Ini kasus pemerkosaan yang korbannya cuman satu, tapi tuntutan yang diberikan maksimal," ucapnya.

Load More