Budi Arista Romadhoni
Selasa, 04 November 2025 | 09:17 WIB
Ilustrasi tragedi simpang club Surabaya menjelang Hari Pahlawan 10 November. [ChatGPT]
Baca 10 detik
  • Tragedi Simpang Club 1945 jadi sisi kelam revolusi Surabaya, penuh kekacauan dan aksi balas dendam.
  • Gedung Simpang Club dijadikan tempat penyiksaan dan eksekusi terhadap mereka yang dituduh pro-penjajah.
  • Kisah ini mengingatkan bahwa perjuangan kemerdekaan juga meninggalkan luka dan pelajaran berharga.
 

SuaraJatim.id - Menjelang Hari Pahlawan 10 November 2025, Surabaya kembali dipenuhi semangat mengenang arek-arek Suroboyo yang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Namun di balik pekik “Merdeka atau Mati!”, tersimpan kisah kelam yang jarang dibicarakan.

Tragedi Simpang Club menjadi salah satu episode paling berdarah dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Berikut lima fakta yang mengungkap sisi lain perjuangan di Kota Pahlawan sebagaimana dikutip dari YouTube Matahati Pemuda. 

1. Terjadi Saat Euforia Kemerdekaan Membara

Setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945 dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, suasana di Surabaya berubah drastis.

Rakyat yang selama ini tertindas ingin membalas dendam atas penderitaan mereka. Kelompok-kelompok bersenjata bermunculan, mulai dari laskar rakyat, pemuda, hingga bekas jagoan kampung yang mengusung semangat revolusi.

Namun di tengah semangat kemerdekaan itu, kekacauan juga tumbuh. Pemerintah yang baru terbentuk belum mampu mengendalikan keadaan.

Masa itu dikenal sebagai periode bersiap, masa di mana semangat perjuangan bercampur dengan amarah terhadap penjajahan.

2. Gedung Simpang Club Jadi Tempat Penyiksaan dan Eksekusi

Baca Juga: 7 Rahasia Dahsyat di Balik Surah Yasin Ayat 9: Pelindung Diri dari Segala Bahaya

Gedung Simpang Club yang kini dikenal sebagai Balai Pemuda Surabaya dulunya adalah tempat dansa dan pertemuan kaum Belanda.

Pada September hingga Oktober 1945, bangunan megah itu berubah menjadi lokasi penahanan, interogasi, dan eksekusi.

Ratusan orang dari berbagai etnis seperti Belanda, Indo, Ambon, Manado, bahkan pribumi yang dituduh pro-penjajah ditahan di sana. Mereka diinterogasi, disiksa, lalu dieksekusi di tempat.

Senjata rampasan Jepang, pedang, dan bambu runcing menjadi alat pembunuhan. Suara pekik “Merdeka atau mati” bergema di sekitar gedung yang saat itu berubah menjadi saksi kekejaman revolusi.

3. Kesaksian Leonor Sinsuandris yang Mengguncang

Salah satu saksi mata tragedi ini adalah Leonor Sinsuandris. Namanya tercatat dalam Arsip Nasional Belanda. Ia ditangkap oleh kelompok bernama Pemuda Republik Indonesia atau PRI karena dituduh memiliki bendera Belanda.

Dalam kesaksiannya, Leonor menggambarkan suasana mencekam di dalam gedung Simpang Club. Para tawanan dipaksa menunduk, tidak boleh melihat ke sekitar, dan siapa pun yang melanggar langsung dieksekusi.

Ia menyebut dua nama yang menginterogasinya, Rustam dan Sutomo, nama yang identik dengan Bung Tomo.

Leonor juga menceritakan adegan eksekusi mengerikan di lantai dansa. Beberapa wanita ditusuk bambu runcing dan dibuang ke Kalimas. Ia menulis dalam kesaksiannya, “Neraka mungkin tidak lebih mengerikan daripada Simpang Club hari itu.”

4. Keterlibatan Bung Tomo Masih Diperdebatkan

Nama Bung Tomo memang disebut dalam beberapa kesaksian, tetapi kebenarannya masih menjadi perdebatan.

Menurut sejarawan Adi Setiawan dalam buku Surabaya, Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu, Sutomo memang pernah bergabung dengan PRI, namun tidak sejalan dengan kepemimpinan Sumarsono.

Bung Tomo kemudian mendirikan BPRI atau Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia pada 12 Oktober 1945, sebelum tragedi Simpang Club terjadi.

Dalam otobiografinya, ia mengaku sempat diculik ke tempat itu. Karena itu, banyak peneliti menilai kesaksian Leonor bisa jadi keliru akibat situasi kacau dan ketidaktahuan terhadap tokoh-tokoh lokal pada masa itu.

Meskipun begitu, perdebatan mengenai keterlibatan Bung Tomo menunjukkan betapa tipis batas antara perjuangan dan kekerasan pada masa revolusi.

Di satu sisi, rakyat berjuang mempertahankan kemerdekaan, di sisi lain, amarah yang menumpuk selama masa penjajahan kadang berubah menjadi kekejaman.

5. Luka Sejarah yang Jarang Dibicarakan

Tragedi Simpang Club hanyalah satu bagian dari kekacauan besar pada masa bersiap di berbagai wilayah Indonesia.

Namun berbeda dengan kisah heroik 10 November, kisah ini jarang muncul dalam sejarah resmi. Tidak banyak arsip yang tersisa, dan para saksi semakin sedikit.

Kini Balai Pemuda berdiri megah di jantung kota Surabaya, menjadi pusat seni dan hiburan.

Tapi di bawah gemerlap lampu dan tawa, ada kenangan tentang darah dan teriakan yang dulu memenuhi tempat itu. Tragedi ini seakan tenggelam di antara cerita-cerita kepahlawanan yang lebih mudah diterima publik.

Menjelang Hari Pahlawan 2025, tragedi ini mengingatkan bahwa perjuangan tidak selalu bersih dari kekerasan. Ada harga kemerdekaan yang dibayar dengan penderitaan sesama anak bangsa.

Mengingat tragedi Simpang Club bukan berarti menodai semangat kepahlawanan, melainkan memahami bahwa perjuangan juga membawa luka.

Surabaya tetap menjadi Kota Pahlawan bukan karena tak pernah salah, tetapi karena berani menghadapi masa lalunya.

Di balik pekik “Merdeka!”, ada pelajaran berharga bagi generasi sekarang. Kemerdekaan sejati tidak lahir dari dendam, tetapi dari keberanian untuk mengakui dan belajar dari sejarah sendiri.

Kontributor : Dinar Oktarini

Load More