SuaraJatim.id - Heboh penemuan benda-benda kuno di area persawahan di Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur yang kuat mengindikasikan adanya reruntuhan candi kuno tidak bisa dilepaskan dari peran Toiran (59), petani yang menanam jagung di area penemuan arca batu kepala kala.
Toiran sebenarnya sudah menemukan batu kepala kala itu sekitar sebulan lalu, saat membersihkan rumput di pematang sawahnya, atau berjarak sekitar 25 meter dari sebuah pohon beringin besar yang selama ini dikenal warga sebagai punden Joko Pangon.
"Sabit yang saya gunakan untuk membersihkan rumput membentur benda keras. Kemudian saya korek sedikit, ternyata ada batu cukup besar. Tapi waktu itu saya pikir batu biasa," ujar Toiran kepada Suara.com, Kamis (5/9/2019).
Sejak itu Toiran mengaku terus teringat akan batu itu, meski hanya sebagian kecil permukaannya yang dia lihat. Karena penasaran, pada Kamis petang pekan lalu, saat warga Kelurahan Gedog menjalankan tirakatan di punden Joko Pangon yang dianggap sebagai situs keramat itu, Toiran menceritakan tentang keberadaan batu tersebut kepada tokoh masyarakat bernama Subagyo.
Baca Juga:Arkeolog: Keberadaan Situs Candi Gedog di Blitar Sudah Ditulis Raffles
“Karena tirakatan itu tentang doa keselamatan, entah bagaimana malam itu di punden Joko Pangon terbersit pikiran bahwa jangan-jangan batu itu yang harus diselamatkan,” tutur Toiran.
Keesokan harinya, Subagyo bersama sejumlah perangkat kelurahan dan kecamatan melakukan pengecekan ke lokasi yang diceritakan Toiran dan mendapati bahwa batu yang ditemukan Toiran adalah arca kepala kala.
Temuan itu lantas dilaporkan lagi ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Blitar yang segera menurunkan tim untuk observasi ke lokasi. Hasilnya, Tim menemukan sebuah koin kuno dengan penanda Tahun 1856 serta susunan batu bata dan batu andesit di beberapa titik yang masih di area persawahan di sekitar punden Joko Pangon.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan cepat mengirim tim untuk melakukan observasi pada Rabu (4/9/2019).
Arkeolog BPCB Trowulan Wicaksono Dwi Nugroho menduga kuat kawasan di sekitar punden Joko Pangon merupakan reruntuhan kompleks percandian yang disebutkan oleh Gubernur Hindia Belanda Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Candi Gedog.
Baca Juga:Temuan Arca Kepala Kala di Kota Blitar, Indikasikan Kompleks Percandian
Dalam buku History of Java yang terbit tahun 1817, Raffles memberikan kesaksiannya tentang sebuah candi yang cukup besar dan megah berdiri tidak jauh dari Kota Blitar. Candi yang dia tulis dengan sebutan Candi Gedog itu digambarkan masih berdiri utuh meski beberapa batu tangga candi mulai berantakan.
“Sayangnya Raffles tidak menyertakan foto atau denah candi,” ujar Wicaksono, sembari menambahkan hipotesanya bahwa kompleks percandian di Kelurahan Gedog tersebut dibangun di era Kerajaan Majapahit.
Wicaksono menduga apa yang disebut sebagai Candi Gedog itu kemudian roboh dan tertimbun pasir yang berasal dari letusan dahsyat Gunung Kelud tahun 1901 dan 1915 yang dikabarkan menelan ribuan korban jiwa.
Tetapi bukan hanya letusan Gunung Kelud yang membuat keberadaan Candi Gedog yang megah itu hampir tanpa bekas. Tokoh masyarakat Gedog Edi Subagyo menambahkan, setelah peristiwa transisi kepemimpinan nasional Orde Lama ke Orde Baru, situs Joko Pangon menjadi salah satu sasaran penjarahan dan perusakan oleh sejumlah kelompok masyarakat.
“Menurut cerita almarhum bapak saya, mantan Lurah Gedog, bahkan batu bata yang berserakan di sini dulu banyak diambil untuk pembangunan Taman Makam Pahlawan di Kota Blitar. Warga banyak dikerahkan untuk mengangkutinya,” tutur Subagyo kepada Suara.com, Kamis (5/9/2019).
Meski demikian, arkeolog Wicaksono menyatakan masih optimis temuan-temuan awal tersebut akan menjadi bahan yang cukup kuat bagi BPCB Trowulan untuk memutuskan kegiatan ekskavasi.
Dia mengatakan akan segera melakukan kajian data observasi awal untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi BPCB Trowulan akan layak atau tidaknya dilakukan proses ekskavasi.
Kontributor : Agus H