Sejak 2014, kelas Tunas dipercaya warga setempat untuk memberikan pelajaran tambahan setiap Sabtu dan Minggu.
Menempati sebuah ruangan di lantai dua, pengajar kelas Tunas memberikan beragam materi, mulai dari membantu mengerjakan PR sekolah, bercerita, hingga ketrampilan lain untuk mendorong anak-anak memiliki rasa percaya diri kembali.
Pada jam sekolah, murid kelas Tunas belajar di sekolah formal masing-masing. Ada yang di SD negeri, Madrasah Tsanawiyah, atau yang belajar di pesantren. Bertemu dan membaur dengan pelajar lain di Sidoarjo.
Namun, ketika bertemu di kelas Tunas, cita-cita mereka tak banyak berubah. Cita-cita yang tak terkikis waktu, sejak mereka terusir dari rumah pada 28 Agustus 2012, menghuni GOR Sampang selama delapan bulan, dan berakhir di Sidoarjo hingga kini.
Baca Juga:Ahlulbait Indonesia Tegaskan Muslim Syiah di Indonesia Bukan Kaum Minoritas
“Saat kami tanya cita-cita, mereka menjawab, ingin pulang,” ujar Liani.
Berharap ingin pulang
Harapan ingin pulang bukan hanya ada di benak anak-anak.Tajul Muluk adalah koordinator pengungsi sejak keluar dari tanah kelahiran. Seperti Hamdi, laki-laki berusia 46 tahun itu juga ingin pulang ke kampung halaman.
“Upaya kami terus menyuarakan bahwa pulang itu harga mati, bahwa kami harus pulang, kejadian Sampang jangan jadi warisan buruk bagi generasi berikutnya,” katanya.
Namun, ia tak berpangku tangan menunggu kapan bisa pulang. Masa depan anak-anak dua kampung itu tetap dipikirkan di tanah rantau.
Baca Juga:Ngaku Bertemu Allah SWT, Yahya Bikin Pengajian di Makam Syiah Kuala
Ia mengupayakan anak-anak Sampang mendapatkan pendidikan dasar, fasilitas yang awalnya susah didapat.