“Karyawannya diliburkan sampai waktu tidak ditentukan. Jadi pulang saja, mau bertahan juga biaya hidup buat makan dari mana,” cerita pria 22 tahun tersebut.
Menjalani karantina, bagi Adi bukanlah perkara mudah. Pada awalnya, memang berjalan biasa saja. Namun, Adi merasakan kesedihan saat sahur pertama di Bulan Ramadan 1441 Hijriah dilalui di pusat karantina. Meski tidak sendiri, tetap saja tidak bisa mengobati kesedihan Adi. Kerinduan untuk sahur bersama keluarga di rumah, serta menikmati masakan ibu.
Di pusat karantina tidak banyak kegiatan yang dapat dilakukan, terlebih saat Ramadan. Pengawas di karantina hanya mengatur jadwal berolahraga di sore hari sebelum berbuka. Selebihnya, mereka bebas berkegiatan selama masih di dalam pusat karantina. Waktu senggang ini biasa digunakan tidur atau sekedar mengobrol sesama peserta karantina.
“Pas puasa gini pagi itu ya tidur, nggak terlalu banyak aktivitas. Kadang ya ngobrol, main medsos dan pastinya sering video call sama keluarga,” katanya.
Baca Juga:Iwan Fals Ditangkap Nyolong Motor di Jember
Sementara untuk sedikit mengurangi kejenuhan, Adi sering menelepon keluarga di rumah. Sekedar menanyakan kabar, bercerita kegiatan hingga membicarakan makanan yang dimasak ibunya. Untuk urusan makanan, Adi menilai tidak sesuai dengan yang dikatakan perangkat desa sebelum dirinya masuk karantina pusat tersebut. Bukan tidak bersyukur, hanya saja Adi dan rekannya merasa tidak sesuai dengan yang dikatakan perangkat desa sebelum ia ke pusat karantina JSG.
“Sebelum kesini perangkat desa itu bilang di JSG itu fasilitas lengkap, makan enak ada karaoke sampai baju diloundri gak usah nyuci. Ternyata gak semua benar,” kata Adi.
Kata-kata perangkat desa tersebut menurut Adi masuk akal, karena pusat karantina dibiayai pemerintah namun nyatanya di lapangan tidak seperti dibayangkan. Makanan yang diberikan pada penghuni karantina berasal dari dapur umum yang didirikan di seputar pusat karantina. Adi menuturkan menu sahur pertama berupa nasi bungkus dengan sedikit sayur urap pepaya, kacang panjang dan kubis serta sepotong kecil telur dadar.
“Harapan kami ya agar lebih diperhatikan lagi, yang kami pikirkan, jika kami karantina terus di sini tanpa asupan gizi bukannya sehat malah tambah sakit, apalagi ini puasa,” kata Adi.
Kini Adi hanya bisa pasrah sembari menanti waktu karantinanya berakhir. Ia berharap tetap sehat sehingga dapat lolos dari masa karantina dan kembali berkumpul bersama keluarga sebelum lebaran.
Baca Juga:Daerah Lain Sudah Mikir PSBB, Jember Masih Ribut Anggaran Virus Corona
Kontributor : Nurul Aini