Ponsel Jurnalis Tempo Disita Jaksa, AJI Surabaya Desak Kejaksaan Minta Maaf

AJI meminta penegak hukum memproses kasus ini sesuai aturan yang berlaku karena ada dugaan ponsel milik Kukuh diakses secara ilegal.

Muhammad Taufiq | Muhammad Taufiq
Rabu, 02 September 2020 | 21:14 WIB
Ponsel Jurnalis Tempo Disita Jaksa, AJI Surabaya Desak Kejaksaan Minta Maaf
Ilustrasi kebebasan pers. (Shutterstock)

SuaraJatim.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya menyayangkan salah seorang Jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang menyita ponsel Kukuh S Wibowo, jurnalis Tempo di Kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Rabu (2/9/2020).

Waktu itu Kukuh sedang menghadiri forum rapat antara Komisi III DPR RI, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Bea Cukai .

Forum yang dihadiri 12 anggota Komisi III DPR ini untuk menindaklanjuti berita di majalah Tempo pekan ini, terkait dugaan penyelundupan 17 kontainer tekstil dari Cina, yang disebut ada campur tangan sejumlah anggota DPR RI.

Terkait hal ini, AJI Surabaya, pertama menuntut Kejaksaan meminta maaf kepada awak media atas tindakan yang dilakukan jaksa tersebut kepada publik dan Kukuh S Wibowo, Jurnalis Tempo.

Baca Juga:Merasa Disudutkan Pemberitaan, Yuli dan AJI Surabaya Desak Media Minta Maaf

"Pasalnya, jurnalis bekerja untuk kepentingan publik," kata Ketua AJI Kota Surabaya, Miftah Faridl, dalam siaran persnya, Rabu 02/09/2020.

Kedua, AJI juga mendesak Kejaksaan untuk memberikan sanksi kepada jaksa yang meminta telepon seluler Kukuh S Wibowo. Ketiga, meminta aparat penegak hukum memproses kasus ini sesuai aturan yang berlaku karena ada dugaan ponsel milik Kukuh diakses secara ilegal.

Detail kronologis peristiwa tersebut bermula saat Kukuh datang ke forum tersebut karena ditugasi kantornya untuk melakukan peliputan dan bukan dalam kapasitas mewakili Tempo di forum rapat.

Kukuh sempat menolak penyitaan ponsel tersebut karena hanya diberlakukan untuk dirinya. Sebab, udangan yang hadir bebas membawa dan menggunakan ponsel.

Menurut Kukuh, jaksa tersebut meminta ponselnya karena tidak ingin pertemuan tersebut didokumentasikan. Kukuh tidak kuasa menolak lagi karena berada di tengah forum dan sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan dari anggota DPR RI.

Baca Juga:Jurnalis Yuli Dideportasi, AJI Surabaya Kecam Pemerintah Hongkong

Kukuh sempat me-nonaktifkan ponselnya. Kurang lebih 3 jam ponsel itu dibawa jaksa tersebut. Kukuh mengaku tidak mengetahui apa yang dilakukan jaksa tersebut selama ponselnya dibawa.

Ada indikasi ada upaya mengakses ponsel milik Kukuh secara ilegal. Dari laporan yang kami terima, ada fitur yang berubah saat ponsel itu dikembalikan kepada Kukuh.

Tentu penyitaan ini juga mengancam keamanan digital dan perengkat komunikasi milik Kukuh, baik sebagai warga negara maupun sebagai jurnalis yang menjalankan tugas.

"Kami mengecam penyitaan ini. Selain menghambat kerja-kerja jurnalisik, penyitaan ini melanggar aturan hukum karena masuk kategori perampasan barang secara tidak berhak dan bentuk kesewenang-wenangan," kata Kukuh.

AJI Surabaya menilai perbuatan jaksa ini menghalangi kerja-kerja jurnalistik seperti yang tertuang dalam Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.”

Atas apa yang dilakukan, Jaksa tersebut bisa dikenakan Pasal 18 ayat 1 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. “ Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).”

"Tidak hanya menghalangi kerja-kerja jurnalistik, Jaksa yang meminta telepon seluler tersebut juga melakukan tindakan penyalahgunaan wewenang serta perampasan barang secara tidak berhak," kata Koordinator Bidang Advokasi AJI Surabaya, Yovinus Guntur.

Oleh sebab itu, AJI Surabaya memandang jika ada pihak yang merasa dirugikan untuk melakukan hak jawab melalui media yang bersangkutan dan tidak melakukan tindakan yang justru merusak sistem demokrasi dan pelanggaran terhadap UU Pers.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini