SuaraJatim.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya mengecam tindakan aparat terhadap jurnalis saat mengamankan demonstrasi menolak Omnibus Law di Surabaya yang berujung rusuh.
"Mengecam? Tentu kami mengecam prilaku buruk yang menabrak aturan. Tapi kecaman ini sudah berulang kali teriring dengan aksi intimidasi, serangan dan sensor yang terus berulang," kata Ketua AJI Kota Surabaya Miftah Faridl dalam siaran persnya, Jumat (09/10/2020).
Demo yang berujung anarkis di Surabaya kemarin memang membetot jurnalis untuk meliput. Namun sejumlah jurnalis mengaku mendapat perlakuan buruk dari aparat kepolisian.
Aji lantas menulis pernyataan sikap terkait hal tersebut. AJI Surabaya menilai aparat keamanan melakukan intimidasi, serangan dan upaya penyensoran saat berlangsung aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja dan Omnibus Law di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis 8 Oktober 2020.
Baca Juga:Ngamuk ke Pendemo Rusuh, Helm Sejuta Umat Wali Kota Surabaya Bikin Salfok
Dari laporan yang diterima AJI Boyo, setidaknya ada lima kejadian intimidasi dan upaya penyensoran terhadap jurnalis yang bertugas. Selain dilakukan aparat keamanan, intimidasi dan penyerangan juga dilakukan demonstran. Lima laporan dengan kronologi singkat, sebagai berikut:
1. Ahmad Mukti, fotografer portalsurabaya.com diintimidasi dua anggota kepolisian dengan memaksanya menghapus file-file foto hasil liputan. Ahmad sempat menghapus hasil liputannya karena merasa terancam. Ahmad diapit dua orang di Jalan Gubernur Suryo, tepatnya di seberang SMA Negeri 6. Ahmad mengaku sempat menghapus sebagian kecil foto liputannya. Ia mendapatkan bantuan dari jurnalis lain yang melawan dua orang tersebut sehingga file-file foto Ahmad bisa diselamatkan. Ahmad memakai kartu pers dan sudah mengatakan dirinya jurnalis.
2. Farid Miftah Rahman, jurnalis cnnindonesia.com mengalami intimdasi oleh aparat keamanan saat unjuk rasa di depan Grahadi mulai ricuh. Sejumlah polisi berseragam mengerumuninya dan berusaha merampas dan membanting ponselnya. Para polisi ini tidak terima aksinya kekerasan yang dilakukan aparat keamana terhadpa pendemo yang tertangkan, didokumentasikan Miftah. Seorang polisi mengancam dengan kalimat ‘Mas, mau saya pentung!’. Miftah sudah mengaku sebagai jurnalis saat ancaman itu ia dapatkan.
3. Agoes Sukarno, photo journalist CNN Indonesia TV, diserang dengan lemparan batu oleh peserta unjuk rasa saat mengambil gambar aksi saling lempar antara peserta unjuk rasa dengan aparat. Selain diserang demonstran, Agoes juga diintimidasi sejumlah aparat keamanan. Dua kali dalam momen berbeda, intimidasi ini dilakukan aparat keamanan di Jalan Pemuda. Pertama, saat Agoes merekam polisi yang mengentikan ambulance dan menyeret keluar orang di dalamnya, kemudian menganiayanya. Kedua, saat Agoes merekam penganiayaan yang dilakukan polisi terhadap pengunjukrasa yang tertangkap. Polisi memintanya tidak merekam dan menghapus rekaman yang ada. Agoes sudah mengaku sebagai jurnalis kepada petugas keamanan yang mengintimidasinya.
4. Gancar Wicaksono, photo journalist CNN Indonesia TV, diintimdasi enam polisi tak berseragam. Mereka memaksa agar Gancar menghapus file-file gambar polisi yang menganiaya demonstran yang tertangkap dan hendak merebut kamera Gancar di Jalan Gubernur Suryo, tepatnya depan Alun-Alun Surabaya. Gancar sempat melawan dengan menghalangi upaya paksa aparat keamanan yang hendak mengambil kameranya. Gancar berhasil melindungi hasil liputannya. Gancar sudah mengaku sebagai jurnalis saat polisi berusaha merebut dan menghapus file liputan dari kameranya.
Baca Juga:Demonstran Rusuh di Malang dan Surabaya yang Ditangkap Jadi 634 Orang
5. Miftah Faridl, koresponden CNN Indonesia TV, empat kali bersitegang dengan aparat keamanan yang memaksa jurnalis peliput menghapus file-file gambar liputan, baik miliknya maupun jurnalis lain. Intimidasi ini berkaitan dengan liputan yang merekam aksi aparat keamanan menganiaya pendemo yang tertangkap. Pada peristiwa ketiga, Faridl ditantang berkelahi seorang polisi yang melarangnya mengambil gambar.
Farid sudah mengaku sebagai jurnalis saat polisi mengintimidasinya. AJI menilai aneh aparat keamanan yang paham hukum masih menggunakan cara-cara intimidatif dan penyensoran untuk mengontrol kerja-kerja jurnalis. Tentu kami paham tensi situasi di lapangan saat itu.
"Tugas jurnalis merekam apa yang terjadi secara jujur dan sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik. Tensi panas yang dihadapi, baik aparat keamanan dan demonstran, tidak bisa menjadi pembenar aksi penyerangan, intimidasi dan sensor," katanya.
Koordinator Bidang Advokasi AJI Surabaya, Yovinus Guntur, menjelaskan aparat keamanan harus memahami kerja-kerja jurnalis dilindungi UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Pasal 8 Dalam Melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Pasal 4 ayat 2 Terhadap pers nasional, tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Pasal 4 ayat 3 Untuk menjamin kemerdekaan pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
"Alih-alih melindungi kerja-kerja jurnalis, aparat keamanan malah menjadi salah satu pelaku. Intimidasi dan upaya penyensoran, seringkali terjadi dan tidak satu pun kasus tersebut yang diselesaikan sesuai undang-undang," katanya.