Selama 2020, 563 Orang Jadi Korban Kekerasan Aparat Saat Demo Omnibus Law

Sepanjang 2020 gelombang penolakan masyarakat sipil terhadap UU Cipta Kerja atau Omnibus Law begitu massif.

Muhammad Taufiq
Kamis, 24 Desember 2020 | 09:05 WIB
Selama 2020, 563 Orang Jadi Korban Kekerasan Aparat  Saat Demo Omnibus Law
Massa berunjuk rasa menolak Omnibus Law Undang- Undang (UU) Cipta Kerja . [ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah]

SuaraJatim.id - Sepanjang 2020 gelombang penolakan masyarakat sipil terhadap UU Cipta Kerja atau Omnibus Law begitu massif. Hal tersebut terjadi akibat adanya dugaan penyimpangan prosedur dalam penyusunan undang-undang tersebut.

Selain itu beberapa ketentuan UU Cipta Kerja dinilai berpotensi melanggar hak-hak warga negara. Berdasarkan pemantauan melalui media online dan investigasi lapangan, LBH Surabaya mencatat pelanggaran terhadap massa aksi saat demonstrasi #TolakOmnibusLaw di 4 Kabupaten/Kota di Jawa Timur yaitu: Kota Surabaya 415 orang, Kota Malang 129 orang, Kabupaten Jember 6 orang dan Kabupaten Banyuwangi 13 orang.

Direktur LBH Surabaya Abdul Wachid Habibullah, mengatakan bentuk pelanggaran terhadap peserta aksi yaitu penangkapan secara sewenang-wenang oleh kepolisian. Penangkapan tersebut dilakukan tanpa melalui mekanisme dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Penangkapan tersebut dilakukan secara acak terhadap peserta aksi. Bahkan sebelum aksi dimulai aparat kepolisian sudah mulai melakukan penangkapan terhadap mahasiswa dan pelajar yang akan mengikuti aksi," terangnya, Rabu (23/12/2020).

Baca Juga:Catahu 2020 LBH Surabaya, 3.096 Buruh Alami Pelanggaran Selama Pandemi

Temuan-temuan ini diringkas LBH Surabaya dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2020. Laporan ini dipaparkan dalam Webinar kemarin dengan sejumlah wartawan.

Wachid melanjutkan, pelanggaran lain yakni tindakan kekerasan dan represif aparat yang lokasinya ada di 4 titik yaitu Kota Surabaya, Kota Malang, Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi.

Dari 4 titik lokasi aksi di Jawa Timur tidak lepas dari aksi brutalitas dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Bentuk kekerasan dilakukan oleh aparat kepolisian berupa pemukulan secara fisik setelah melakukan penangkapan terhadap mahasiswa dan pelajar yang mengikuti demonstrasi Tolak Omnibus Law.

"Hampir semua peserta aksi mengalami sesak nafas akibat tembakan gas air mata yang ditembakkan oleh aparat kepolisian untuk melakukan pembubaran massa aksi," kata Wachid.

LBH menilai bahwa tindakan kekerasan fisik dan represifitas yang dilakukan oleh aparat kepolisian menunjukan bahwa negara mengabaikan pemenuhan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Baca Juga:Terkait Demo Omnibus Law, KontraS Surabaya Laporkan Polda ke Ombudsman

"Padahal kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi warga negara secara tegas diatur dalam Konstitusi Republik Indonesia," katanya.

Pelanggaran lainnya berupa persekusi terhadap minoritas as gender dan populasi kunci. Sepanjang tahun 2020 LBH Surabaya mencatat ada 2 kasus persekusi terhadap kelompok minoritas gender dan populasi kunci.

Persekusi tersebut dialami oleh seorang waria dan seorang gay. Sementara bentuk kekerasan yang dialami yaitu berupa pengeroyokan yang mengakibatkan luka memar

"Mereka mengalami luka cukup parah dan penyebaran data pribadi serta data rekam medis melalui media sosial," ungkapnya.

Wachid menyebut, dengan masih adanya peristiwa persekusi terhadap kelompok minoritas gender dan populasi kunci menunjukan bahwa masih adanya stigma negatif bagi warga negara yang termasuk dalam kategori minoritas gender dan populasi kunci.

Kekerasan Perempuan dan Anak

Berikutnya, LBH Surabaya juga melaporkan sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2020. Kasus ini meningkat meski dalam kondisi pandemi Covid-19. Dari catatan akhir tahun LBH, angkanya mencapai 551 korban dari 284 kasus.

Abdul Wachid Habibullah mengatakan kondisi pandemi tidak menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun justru naik di Jawa Timur.

"Data tentang korban kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak tersebut dari beberapa pengaduan langsung di LBH Surabaya maupun hasil data dari monitoring media cetak dan online," kata Wachid, Rabu (23/12/2020).

Wachid mengatakan, bentuk kekerasan yang dialami beragam mulai kekerasan fisik maupun non-fisik, kekerasan terjadi diakibatkan dari beberapa faktor, mulai dari faktor ekonomi, asmara, sosial, maupun adanya relasi kuasa.

Sepanjang 2020, LBH Surabaya telah memberikan layanan bantuan hukum terhadap hak perempuan sebanyak 17 kasus dengan jumlah korban sebanyak 17 orang serta layanan bantuan hukum terhadap hak anak sebanyak 7 kasus dengan jumlah korban sebanyak 7 orang.

Bentuk pelanggaran yang kerap terjadi terhadap perempuan pada 2020 adalah KDRT 10 kasus, disusul bentuk pelanggaran kekerasan non-fisik yaitu kekerasan berbasis gender online 3 kasus.

Sementara Suami menempati posisi pertama sebagai pelaku pelanggaran terhadap hak perempuan, yakni 10 orang disusul pelaku selanjutnya adalah Kelompok Sipil 5 orang terdiri dari kekasih korban, teman dan bahkan kerabat dekat korban.

"Kasus pelanggaran terhadap hak perempuan banyak terjadi di Kota Surabaya sebanyak 12 kasus disusul Kabupaten Sidoarjo 3 kasus, Mojokerto dan Jombang masing-masing 1 kasus," ujarnya.

Wachid melanjutkan, bentuk pelanggaran yang kerap terjadi terhadap anak pada 2020 adalah penganiayaan 3 kasus, disusul bentuk kekerasan pemerkosaan dan pencabulan masing-masing 2 kasus.

Orang tua menempati posisi pertama sebagai pelaku pelanggaran terhadap hak anak yakni 3 orang, disusul pelaku selanjutnya adalah keluarga, guru, teman, dan tetangga yang masing-masing 1 orang.

"Kasus pelanggaran terhadap hak anak banyak terjadi di Kota Surabaya 4 kasus disusul oleh Kabupaten Sidoarjo 2 kasus, dan Sampang 1 kasus," ucapnya.

LBH Surabaya memiliki rekomendasi kepada pemerintah untuk semestinya terus menggalakkan upaya perwujudan kebijakan "Daerah Ramah pada Perempuan dan Anak" dengan menghentikan praktik kekerasan perempuan dan anak, baik fisik, psikis, dan seksual, serta menghentikan praktik trafficking.

"Pemerintah segera melaksanakan konsep keadilan restoratif bagi anak berhadapan dengan hukum, baik anak berkonflik dengan hukum, anak korban, dan anak saksi," katanya.

"Pemerintah juga wajib mengedepankan upaya-upaya bersama-sama kelompok masyarakat terdampak langsung berkaitan dengan adanya kebijakan pembangunan guna mem-formulasikan solusi terbaik demi harmoni gerakan pembagunan dengan upaya perlindungan penghormatan HAM," ujarnya.

Kontributor : Arry Saputra

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini