Jejak Yahudi dan Bukti Bintang Daud Pernah Bersinar di Surabaya

Komunitas Yahudi di Indonesia sudah ada sejak lama, jauh sebelum republik ini merdeka. Di Surabaya misalnya, sangat gampang mencari jejak-jejak komunitas orang-orang zionis.

Muhammad Taufiq
Kamis, 19 Agustus 2021 | 09:49 WIB
Jejak Yahudi dan Bukti Bintang Daud Pernah Bersinar di Surabaya
Foto Sinagoge Surabaya pada tahun 2007. [Wikipedia]

SuaraJatim.id - Komunitas Yahudi di Indonesia sudah ada sejak lama, jauh sebelum republik ini merdeka. Di Surabaya misalnya, sangat gampang mencari jejak-jejak komunitas orang-orang zionis ini.

Bukti faktualnya adalah logo bintang daud atau dalam bahasa lain disebut perisai daud--lambang yang sudah sangat lumrah digunakan sebagai tanda jati diri Yahudi--banyak ditemukan di batu nisan Makam Kembang Kuning.

Dalam buku berjudul: Di Bawah Kuasa Antisemitisme yang ditulis Romi Zarman, dijelaskan setidaknya keberadaan orang-orang Yahudi asal Jerman dan Belanda sudah menyebar di beberapa daerah di daratan Nusantara sejak abad ke-19.

Pada Tahun 1861 misalnya, sedikitnya ada 40 keluarga Yahudi tinggal di Batavia. Namun jumlah pasti orang-orang Yahudi di seluruh wilayah Hindia Belanda yang sekarang Indonesia ini belum diketahui.

Baca Juga:Pecatan Polisi Ini Dibekuk Sebab Terlibat Curanmor di Surabaya

Di Surabaya, keluarga yang pertama diketahui bermukim di sana tercatat pada Tahun 1871. Ada tiga keluarga keturunan Persia tinggal di Kota Buaya itu. Sementara Yahudi Eropa menyebar di wilayah-wilayah lain di Jawa Timur, dimana komunitas mereka disebut Israelietisch.

Di antara keluarga Yahudi yang namanya banyak disebut di Surabaya adalah Charles Mussry. Keluarga Yahudi ini menetap lama dan konon telah beranak pinak membaur dengan warga lokal sampai sekarang.

Keluarga Yahudi di Surabaya ini bahkan juga sampai membangun tempat ibadah mereka sendiri, Sinagoge. Bukti ini sempat ada di Jalan Kayoon Nomor 4-6 Kota Surabaya, sebelum akhirnya dirubuhkan.

Sinagoge Surabaya atau Beit Hashem ini dibangun pada 1948. Selama berpuluh tahun, sinagoge bergaya arsitekur Belanda ini merupakan sinagoge satu-satunya di Indonesia yang pernah ada. Namun pada 2013, bangunan ini dirobohkan dan pihak swasta mendirikan hotel 17 lantai di atasnya. 

Israel Cohen, seorang Zionis Inggris yang beberapa lama singgah di Jawa pada 1921 menyebut kalau jumlah Yahudi di beberapa kota di Jawa berjumlah 2000 orang. Namun data ini bersifat spekulatif menurut Romi Zarman.

Baca Juga:Jadwal Pertandingan Belum Jelas, Aji Santoso Bingung Tentukan Taktik Persebaya

Data paling bisa diterima akal barangkali bisa dilihat dari jumlah langganan buletin Erets Israel di Hindia Belanda yakni berjumlah 600 jiwa. Baru pada 1930 pemerintah Hindia Belanda melakukan sensus data orang Yahudi berjumlah 1095 jiwa yang tersebar di beberapa wailayah atau kota besar.

Di Jawa Barat misalnya ada 403 jiwa, Jawa Tengah (157 jiwa), Yogyakarta (34 jiwa), Surakarta (9 jiwa), Jawa Timur (332), Sumatera (121 jiwa), Borneo (14 jiwa), Celebes (24 jiwa), kemudian satu perempuan tempatnya tidak teridentifikasi.

Ekspedisi Portugis

Rubrik Khazanah Koran Republika pernah mengulas jejak Yahudi di Surabaya ini. Dalam artikel setahun lalu itu, disebutkan kalau petualangan Yahudi di bumi Nusantara ini tak lepas dari ekspedisi Portugis.

Setelah Portugis menemukan jalan ke India dan Asia Tenggara, banyak orang Yahudi—lebih dulu menjadi Kristen—terlibat dalam ekspedisi pada awal abad ke-16. Kebanyakan dari mereka tidak kembali, tapi bermukim di sepanjang pantai utara Sumatera dan Jawa.

Jumlah pemukim Yahudi di nusantara berkembang seiring kemunduran Portugis dan munculnya VOC di nusantara pada 1602.

Namun, tidak ada dokumen yang menyebut jumlah pemukim Yahudi pada awal pendirian Batavia. Setelah VOC bangkrut pada 1799, Pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mencatat jumlah orang Yahudi di kota-kota di Jawa dan Sumatra.

VOC dan Pemerintah Hindia-Belanda memang menjalankan politik segregasi etnis, tapi tidak memisahkan Yahudi dari masyarakat Belanda. Politik segregasi hanya mencakup orang-orang China, inlander (pribumi), Arab, Moor, dan kulit putih non-Belanda.

Yahudi asal Belanda masuk ke dalam kelompok pemukim Belanda. Sedangkan, Yahudi yang datang dari Jerman, Prancis, Spanyol, Austria, Inggris, dan lainnya masuk kelompok masyarakat kulit putih non-Belanda.

Namun, Yahudi yang datang ke Hindia-Belanda tidak hanya berasal dari Eropa, tapi juga dari wilayah Kekaisaran Ottoman, yaitu Irak. Komunitas Yahudi Shepardic di Surabaya berasal dari Irak dan menyebut diri Yahudi Baghdadi.

Terdapat indikasi pemerintah Hindia-Belanda mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Arab. Rumah-rumah Yahudi Baghdadi di Surabaya, plus sinagogue mereka, terdapat di lingkungan permukiman Arab.

Catatan penting tentang eksistensi Yahudi di Nusantara ditulis Rabbi Yacob Saphir. Dalam perjalanan ke Australia untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan permukiman Yahudi di Palestina, Rabbi Saphir tiba di Singapura, kota di Asia Tenggara dengan pemukim Yahudi Shepardic yang mapan; memiliki beberapa sinagogue dan rabbi.

Sebelum bertolak ke Australia, Rabbi Saphir disarankan mengunjungi masyarakat Yahudi di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Ia memenuhi saran itu dan mengunjungi tiga kota di Jawa pada 1861, untuk bertemu keluarga-keluarga Yahudi.

Di Batavia, Rabbi Saphir bertemu 20 keluarga Yahudi. Dalam catatan perjalanannya ia menulis, "Mereka tidak lagi menjalankan ritual Judaisme, mengadakan upacara brit milah (mengkhitan anak laki-laki), karena ketiadaan pemuka agama."

Jika keluarga Yahudi di Batavia ingin mengkhitankan anak laki-lakinya, mereka harus mengumpulkan banyak uang untuk memanggil rabbi dari Singapura. Situasi serupa juga dijumpai Rabbi Saphir di Semarang, tapi tidak di Surabaya.

Di Surabaya, Rabbi Saphir menemukan sinagogue yang terpelihara, dengan masyarakat Yahudi Shepardic di sekelilingnya. Di sini, brit milah dijalankan dengan baik karena ada rabbi yang siap memimpin upacara. Minyan atau ritual umum yang harus diikuti minimal 10 laki-laki setiap Sabat, terpelihara.

Rabbi Saphir juga mencatat Yahudi di Batavia dan Semarang berasal dari Jerman dan Belanda dengan latar belakang Azhkenazim. Mereka tidak hanya murtad terhadap ajaran, tapi ikut-ikutan merayakan Natal.

"Di Semarang dan Batavia, tidak ada pemakaman khusus Yahudi. Di Surabaya, Yahudi Baghdadi memiliki tanah wakaf untuk pemakaman," demikian dijelaskan Rabbi Saphir.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini