SuaraJatim.id - "Menjadi GTT itu adanya senang saja, setiap hari bisa bertemu dengan anak didik, terhibur dengan itu," omongan Sri Hartuti ini sederhana tapi bermakna.
Lalu baca lanjutannya, "Palingan hanya saat akan berangkat, kebetulan bensin habis. Tapi dengan kondisi seperti itu, tetap senang dan menikmati prosesnya."
Begitulah Ia. Murid-murid biasa memanggilnya Bu Sri. Sosok guru honorer di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Ngawi Jawa Timur itu baru-baru ini menjadi sorotan warganet.
Kisah guru berusia 43 tahun yang tinggal di tepian hutan jati dengan kondisi rumah jauh dari kata layak huni itu menyedot banyak perhatian dan ramai diperbincangkan.
Baca Juga:Nestapa Guru Honorer di Ngawi, Tinggal Seatap dengan Kandang Kambing
Ditemui di rumahnya, Sri yang murah senyum itu membuka diri. Sosoknya ikhlas alias 'nerimo ing pandum' meskipun tempat tinggalnya jauh dari kata mewah. Rumah berdinding anyaman bambu berlantai tanah, berdiri di atas lahan perhutani.
Sri saat ini mengajar di SD Negeri Pandean 4 sebagai guru kelas 5. Dedikasinya sebagai seorang pendidik terus dia lakukan hingga belasan tahun lamanya. Tujuannya demi pendidikan layak masyarakat sekitar.
"Mulai jadi GTT (Guru tidak tetap) tahun 2007, pertama kali di SD N Pandean 5, Kebun Waru. Kira-kira 5 tahun di sana, kemudian rolling di SDN 4 Pandean, sampai sekarang," katanya, dikutip dari timesindonesia.co.id, jejaring media suara.com, Sabtu (23/10/21).
Dia mengisahkan, keinginan untuk menjadi seorang guru sudah ada semenjak masih kecil. Proses yang dia lalui pun tak kalah getir. Dari sekolah dasar, dia harus rela membagi waktu antara belajar di sekolah dan bekerja.
Selepas SD, Sri tidak langsung melanjutkan di jenjang SMP. Dia merantau ke Ibu Kota. "Setelah tabungan cukup baru pulang, dan melanjutkan di SMP," ujarnya.
Keterbatasan ekonomi keluarga saat itu, mengharuskan Bu Guru Sri untuk nderek agar tetap bisa melanjutkan pendidikan setingkat SMA. "Yang penting tetap bisa sekolah. Dulu melanjutkan di SMK Muhammadiyah 1 Ngawi," katanya.
Baca Juga:Tak Bikin PR, Siswa Dipukuli Guru hingga Tewas
"Setelah lulus, saya bekerja dulu di Jakarta, kemudian setelahnya baru melanjutkan kuliah dan mengambil jurusan pendidikan guru SD, selama 4 tahun," ujarnya.
Selama mengabdikan diri sebagai guru honorer, dirinya mengaku tidak pernah berkeluh kesah. Semua dilalui dengan penuh ikhlas mengabdikan diri sepenuhnya untuk mengajar anak-anak di desanya.
Untuk menutupi kekurangan kebutuhan sehari-hari, Sri mengaku juga memiliki usaha sampingan. Yakni dengan beternak unggas dan beberapa ekor kambing. Selepas mengajar, biasanya dia mencari rumput pakan ternak miliknya.
Saat ini Sri tinggal bersama suami dan ketiga anaknya. Suaminya bekerja serabutan dan seadanya. Penghasilan juga tidak menentu. Tergantung dengan ada tidaknya pekerjaan.
Perjalan hidup tidak ada yang tahu. Saat pemerintah membuka kran seleksi P3K (Pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak) Guru, dirinya mencoba peruntungan dengan mengikuti seleksi tersebut.
Setelah melewati serangkaian proses, Sri lolos passing grade, dan saat ini hanya tinggal menunggu pemberkasan, setelah masa sanggah. "Tentunya sangat bersyukur, dan masih tidak menyangka," katanya.
Sri mengatakan, sebelumnya dia sempat tidak lolos. Saat itu, nilai ambang batas yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi. Hingga kemudian pemerintah memberikan kebijakan untuk menurunkan batas tersebut. Dia pun akhirnya lolos dengan capaian nilai di atas batas.
Tinggal di kawasan susah sinyal, membuat Sri mengalami beragam kesulitan saat mengakses internet untuk belajar demi persiapan tes P3K. Beruntung di sekolah ada jaringan WiFi yang bisa dia manfaatkan untuk mengunduh materi dan dipelajari sepulang mengajar.
"Kalau di rumah susah sinyal, biasanya saya download dulu materi dengan WiFi sekolah. Di rumah baru dipelajari," katanya.
Dari kisah hidupnya yang penuh lika liku, dirinya mengajak agar para guru honorer di Kabupaten Ngawi, yang mungkin senasib dengan dirinya agar tidak pantang menyerah.
Menurutnya, yang paling penting tetap ikhlas selama mengabdi sebagai pendidik. "Yang penting ikhlas saat mengajar, dan jangan pernah menyerah," kata Sri Hartuti.