SuaraJatim.id - Polda Jatim kembali menangkap seorang tersangka kasus sodomi anak yang merupakan mantan anggota Ikatan Gay Tulungagung (IGATA).
Penangkapan terhadap tersangka bernama Hendri Mufidah ini merupakan pengembangan dari kasus pencabulan yang dilakukan Ketua IGATA, M Hasan atau Mami Hasan yang lebih dulu ditangkap.
Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan menyampaikan, tersangka baru ini telah mencabuli tiga anak laki-laki.
"Polda Jatim kembali mengungkap kasus pencabulan pada anak. Hari ini Polda Jatim mengungkap, mengembangkan jaringan IGATA yang belum lama kami ungkap jaringan tersebut di salah satu kota di Jatim, Tulungagung," kata Luki saat rilis di Mapolda Jatim Jalan Ahmad Yani Surabaya, Kamis (20/2/2020).
Baca Juga:Satpol PP Badung Sidak Vila Terindah untuk Gay, Pemilik Dipanggil ke Kantor
Terkait kasus ini, polisi juga masih melakukan pengembangan lewat pemeriksaan terhadap Hendri untuk mencari tahu apakah ada korban lain yang pernah dicabuli tersangka.
Dari penangkapan ini, polisi menyita sejumlah barang bukti seperti kondom, uang, handphone tersangka, hingga celana dalam korban.
Diketahui, kasus pencabulan yang dilakukan oleh Ketua Ikatan Gay Tulungagung (IGATA), Mochammad Hasan terhadap 11 anak laki-laki di Tulungagung, mendapat perhatian khusus dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI.
Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, meminta pihak berwajib memberikan jaminan rasa aman kepada keluarga korban dan masyarakat pada umumnya.
Salah satunya dengan aturan bahwa setiap pelaku kekerasan dan kejahatan seksual yang sudah masuk ke kepolisian, untuk melakukan wajib lapor.
Baca Juga:Gay dan Lesbian di Depok Akan Dirazia, Komnas HAM: Melanggar HAM
"Lembaga-lembaga terkait bisa diajak kerjasama kepolisian untuk wajib lapor, pengawasan dan pencegahan. Catatan pentingnya dalam mekanisme wajib lapor ini, harus disertai penanganan petugas yang punya kapasitas dan profesionalitas yang baik dan khusus," tulis Jasra dalam rilis yang disebarkan kepada media pada Selasa, (21/1/2020).
Ia juga menyinggung bagaimana pihak berwajib perlu melakukan mekanisme penanaman chip.
"Apalagi aturannya sudah ada karena bisa di penjara perbuatan itu terulang atau bisa jadi tempat lain," tambahnya.
Pemasangan chip atau alat pendeteksi elektronik, ada dalam ketentuan Pasal 81 ayat (7) dan Pasal 82 ayat (6) Perppu 1/2016.
Polisi juga diminta untuk terbuka mengembangkan kasus mengenai di mana saja pelaku pernah tinggal dan pergi ke mana saja pelaku selama pelarian untuk mendeteksi korban lebih cepat.
"Karena bila ditangani dengan baik, secara holistik dan integratif, dampaknya akan menghantui sepanjang hidup para korban, bahkan korban bisa terjebak menjadi pelaku bila tidak ditangani dengan baik," kata dia.
Kontributor : Achmad Ali