7 Bentuk Kekerasan Polisi Saat Demo Omnibus Law di Surabaya Versi KontraS

Jurnalis dan masyarakat sipil pun menjadi korban kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian

Muhammad Taufiq
Rabu, 14 Oktober 2020 | 16:53 WIB
7 Bentuk Kekerasan Polisi Saat Demo Omnibus Law di Surabaya Versi KontraS
Massa aksi demo di Surabaya tolak UU Cipta Kerja mulai ditangkapi polisi, Kamis (08/10/2020) (Foto: Dimas Angga)

SuaraJatim.id - Ratusan remaja ditangkap polisi, belasan lainnya jadi tersangka setelah demo menolak pengesahan Omnibus Law dan UU Cipta Kerja yang berujung ricuh di Surabaya beberapa waktu lalu. 

KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Surabaya yang saat itu melakukan monitoring di lapangan menerima pengaduan dan menemukan beberapa fakta mengenai bentuk-bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi.

Koordinator KontraS Surabaya, Rahmat Faisal, menyebut telah menemukan setidaknya 7 bentuk tindak kekerasan kepolisian selama menangani dan mengawal unjuk rasa tolak omnibus law di Surabaya kemarin.

"Pertama adalah aparat kepolisian melakukan penangkapan secara sewenang-wenang kepada beberapa massa aksi yang baru akan melakukan aksi, kepada massa aksi yang tidak terlibat dalam perusakan dan penyerangan serta sedang dirawat di posko medis," kata Rahmat kepada SuaraJatim.id, Rabu (14/10/2020).

Baca Juga:BEM Unair Siap Fasilitasi Debat Henry Subiakto vs Airlangga Pribadi

Pelanggaran keduaaparat kepolisian yang melakukan tindak kekerasan kepada massa aksi yang menjadi relawan medis. Massa aksi tidak bersenjata dan massa aksi yang tidak melawan saat ditangkap.

"Ketiga kontras menemukan bahwa aparat kepolisian melakukan penyerangan dan melakukan pengerusakan terhadap sekretariat PMKRI, yang digunakan untuk posko kesehatan selama aksi kemarin," ucapnya.

Selanjutnya, pelanggaran keempat berupa intimidasi dan ancaman ke masyarakat serta jurnalis yang berupaya melakukan pendokumentasian kerusuhan selama aksi. Hal itu dilakukan dengan cara merampas alat pendokumentasi yang digunakan dan menghapus paksa hasil dokumentasi.

Pelanggaran kelima menemukan aparat kepolisian menghalangi akses informasi mengenai data pasti siapa saja dan berapa keseluruhan jumlah massa aksi yang ditangkap, termasuk status penahanannya.

"Sehingga tim advokasi mengalami kesusahan dalam bantuan hukum," ujarnya.

Baca Juga:50 Advokat Turun Dampingi Mahasiswa yang Ditahan di Polrestabes Semarang

Pelanggaran keenam terkait aparat kepolisian yang hingga kemarin belum memberikan informasi secara detail jumlah jenis dan keberadaan barang-barang yang dirampas selama aksi.

Pelanggaran ketujuh, aparat kepolisian melakukan kekerasan dan tindakan tidak manusiawi kepada tersangka anak dibawah umur selama proses penangkapan.

"Tujuh bentuk itu yang kami temukan berdasarakan pantauan dan pengaduan masyarakat," lanjutnya.

Rahmat menilai kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian ini menunjukkan bahwa reformasi kepolisian masih jauh dari harapan publik. Menurutnya kepolisian yang akuntabel dan profesional masih jauh dari harapan.

Untuk itu KontraS menuntut pada Polri untuk mengakui bahwa aparat kepolisian telah melakukan tindak kekerasan, penangkapan, teror, perampasan, dan intimidasi kepada masyarakat umum, peserta unjuk rasa, dan jurnalis di Gedung Negara Grahadi.

"Kami juga meminta polisi untuk menyampaikan permohonan maaf pada pihak korban dan masyarakat atas tindakan tersebut. Kedua melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja seluruh anggota aparat Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya," ujarnya

Selain itu, untuk seluruh petugas yang terlibat dalam tindak kekerasan bisa diberhentikan secara tidak hormat sesuai dengan proses hukum yang berlaku.

"Terakhir, kami meminta untuk hak korban bisa dipenuhi dengan memberi kompensasi dan rehabilitasi yang layak demi kemanusiaan," katanya.

Kontributor : Arry Saputra

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini