SuaraJatim.id - Peristiwa ritual berujung maut di Pantai Payangan Jember yang menewaskan 11 jemaat Padepokan Tunggal Jati Nusantara itu terus membetot perhatian berbagai pihak.
Salah satunya dari Majelis Ulama Indonesia Kabupaten setempat yang menyebut perilaku jemaat padepokan Tunggal Jati Nusantara bukan sekadar budaya, namun ada muatan agama yang membutuhkan penyikapan.
Apalagi penokohan seorang pemimpin ritual jemaat tersebut tidak kali pertama terjadi di Jember. Seperti disampaikan Ketua MUI Jember Abdul Haris di Pendapa Wahyawibawagraha, Senin (14/2/2022).
Ia menyebut, bacaan dalam ritual di padepokan tersebut melantunkan bacaan ayat Alquran dan salawat. Di salamnya juga ada tausiah-tausiah agama, bukan hanya sekadar budaya.
Baca Juga:Polisi Telah Periksa Belasan Saksi Kasus Ritual Maut di Pantai Payangan Jember
"Kalau melihat bacaan-bacaan yang dilantunkan (ritual kelompok tersebut) ada ayat Alquran, ada salawat, kemudian juga tausiahnya kok sulit dikatakan kalau ini sekadar budaya," ujarnya.
"Yang jelas ini ada muatan-muatan yang harus kita sikapi apakah menyimpang atau tidak," kata Haris seperti dikutip dari beritajatim.com jejaring media suara.com.
Ia menjelaskan, padepokan Tunggal Jati Nusantara merupakan kelompok tarikat keagamaan yang dipimpin Nurhasan. Mereka datang ke Pantai Payangan, Minggu (13/2/2022) dini hari, untuk melakukan ritual bersama-sama.
Namun kegiatan ritual itu berakhir duka, karena sebelas dari 24 orang yang datang itu meninggal setelah digulung ombak laut selatan.
"Kalau dilihat dari aspek bacaan (doa-doa) yang dibaca tampaknya tidak ada masalah. Kemudian ketika ini dilaksanakan di pantai selatan dan tadi ditegaskan bahwa ada keinginan mendapatkan barokah dari Nyai Roro Kidul, ini adalah hal yang mungkin perlu diingatkan. Kalau itu diukur dengan takaran Islam jelas menyimpang," kata Haris.
Baca Juga:Belum Tetapkan Tersangka, Polisi Periksa 13 Saksi Di Kasus Ritual Maut Pantai Payangan
Haris sulit melihat perilaku kelompok Tunggal Jati Nusantara ini sebagai bagian dari budaya, karena pelakunya memiliki motif tertentu yang tidak dilakukan banyak kalangan.
Berdasarkan informasi kepolisian, Tunggal Jati Nusantara beranggotakan 100 orang, namun setiap kali pengajian rutin dilakukan hanya diikuti 15-20 orang.
"Konklusi kami, ini adalah ritual yang dianggap keagamaan, tapi ada hal-hal yang itu kita anggap penting untuk diluruskan. Masyarakat kita harus diberi edukasi, bahwa tidak ada yang mampu memberikan manfaat dan menolak mudarat kecuali Allah," kata Haris.
MUI pernah menemui kasus serupa di Kecamatan Sumberjambe. "Ada seorang yang sangat ditokohkan di situ, bahkan melampaui porsi sebenarnya. Dia merasa setiap hari mandi dengan Kanjeng Nabi, dengan Nabi Musa, tapi tetap dipercaya masyarakat," kata Haris.
Saat itu ada warga yang melapor kepada MUI. "Kami teruskan ke polisi. Potensi konfliknya juga besar. Suami istri sempat sering bertengkar, gara-gara yang satu menganggap tidak normal," ujarnya.
"Yang satu menganggap normal. Suaminya yang terpengaruh bahwa tokoh ini bisa berkomunikasi dengan Gusti Kanjeng Nabi," katanya menegaskan.