Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Rabu, 01 Juni 2022 | 15:17 WIB
Prasasti Pamotan Lamongan [Foto: Beritajatim]

SuaraJatim.id - Salah satu jejak prasati kuno di Lamongan kini hilang, yakni Prasasti Pamwatan atau Pamotan. Padahal prasasti ini berisi sejumlah informasi berharga.

Di sisi lain, relif tulisan pada prasasti tersebut belum tuntas dibaca. Kondisi ini tentu meninggalkan teka-teki sampai kini. Misalnya soal informasi kapan prasasti itu dibuat dan tujuannya untuk apa.

Prasasti Pamotan ditemukan di Desa Pamotan Kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan. Diperkirakan, prasasti tersebut hilang pada Kamis tengah malam, 11 September 2003 silam.

Sejarawan Lamongan, Supriyo, mengatakan beberapa warga desa Pamotan mengaku sudah tak lagi menjumpai prasasti batu (Pamotan) di tempatnya sejak Jumat tanggal 12 September 2003.

Baca Juga: Tersangka Kasus Investasi Bodong yang Hebohkan Lamongan Segera Disidangkan

"Lalu dilaporkan kepada kepolisian setempat pada hari berikutnya oleh Drs. Asnan selaku Kepala Kantor Cabang Dinas P dan K Kecamatan Sambeng waktu itu,” ujarnya dikutip dari beritajatim.com jejaring media suara.com, Rabu (1/6/2022).

Sampai sekarang, ungkap Supriyo, prasasti yang isinya belum tuntas dibaca tersebut tidak diketahui keberadaannya. Hilangnya Prasasti Pamotan ini menimbulkan misteri dan mengundang perdebatan panjang tentang apa yang terjadi di masa lampau.

“Prasasti aslinya kini sudah tidak ada, hanya menyisakan batu persegi yang merupakan bagian lapik prasasti. Kemudian pada tahun 2019, dibuatlah duplikat Prasasti Pamotan berdasarkan inisiatif Sekcam Sambeng waktu itu,” imbuhnya.

Supriyo menjelaskan Prasasti Pamotan pertama kali terdata dalam RDC 1907. Dalam artikel Verbeek nomor 435 disebutkan tentang adanya batu bertulisan di desa Pamotan, distrik Mantup yang berangka tahun 964 Saka (Verbeek 1891:221;Knebel 1907: 268), prasasti kemudian dikenal dengan prasasti Pamwatan, sesuai dengan lokasi ditemukannya.

Pembacaan Prasasti Pamotan ini, tambahnya, pertama kali dilakukan oleh L.C Damais, terutama pada bagian depan atas yang memuat angka tanggal 5 Suklapaksa bulan Posya tahun 964 Saka (19 Desember 1042 Masehi). Raja yang mengeluarkan prasasti adalah Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.

Baca Juga: Razia Warung Kopi Pangku di Lamongan, Dua Pasangan Asyik Kelonan Digaruk Petugas

“Prasasti ini ditulis dalam aksara jawa kuna pada keempat sisinya (a-b-c-d). prasasti ini merupakan prasasti batu berpuncak setengah lingkaran, ukurannya sesuai dengan data yang tertulis dalam rapporten ukuran, tinggi 92 cm, lebar bagian tengah 88 cm, dan lebar bawah 67 cm,” terangnya.

Menariknya, Supriyo menuturkan, pada bagian atas prasasti berbahan batu andesit ini terdapat tulisan “Dahana” yang dipahat timbul dengan model aksara jawa kuno besar atau sering disebut aksara kwadrat. Kondisi aksara pada bagian bawah prasasti juga sudah sangat aus dan sebagian terpendam tanah.

“Sebagian besar ahli arkeologi berpendapat bahwa penulisan kata Dahana ini berkaitan dengan nama ibukota terakhir dari kerajaan Airlangga, yakni Dahanapura, sesudah Wwatan Mas, Kahuripan, dan Patakan sebagai ibukota sementara” tuturnya.

Lebih lanjut menurut Supriyo, sejumlah pendapat itu juga didasarkan pada Serat Calon Arang yang menyatakan bahwa Airlangga berkedudukan di Dahanapura sebagai ibukotanya.

“Meski dalam serat tersebut tidak disebutkan secara persis letak ibukota Dahanapura, namun diduga masih di sekitar kawasan Lamongan selatan. Sehingga sangat mungkin ditemukan juga situs atau benda peninggalan lain nantinya,” bebernya.

Masih kata Supriyo, secara umum prasasti-prasasti yang dikeluarkan di masa Airlangga ini berkaitan erat dengan status Sima Swatantra, tak terkecuali Pamotan. Meski begitu, terkait status Pamotan ini pihaknya belum bisa memastikan secara pasti karena belum jelasnya bagian Sambanda.

“Belum jelas karena bagian Sambanda atau sebab-sebab turunnya prasasti ini belum terbaca. Tapi secara umum prasasti Airlangga yang ditemukan ini semua terkait status Sima Swatantra,” tandasnya.

Kini, Supriyo mengaku sangat menyesalkan terjadinya tindak pidana pencurian prasasti atau benda bersejarah yang memiliki nilai yang tinggi, utamanya sebagai pengetahuan masyarakat.

Ia juga menyebut bahwa setiap benda peninggalan itu menunjukkan perkembangan peradaban manusia. Benda-benda itu menuturkan sejarah dan peristiwa yang dilalui setiap manusia pada zamannya masing-masing.

“Sangat disayangkan. Padahal benda bersejarah itu menjadi ilmu pengetahuan tentang perjalanan bangsa ini. Ada sejarah, ada cerita peradaban bangsa ini dalam prasasti tersebut. Seharusnya kita semua memiliki tanggung jawab melestarikannya,” pungkasnya.

Load More