Andi Ahmad S
Kamis, 20 November 2025 | 19:07 WIB
Imron Hamzah, pengungsi erupsi Gunung Semeru warga Dusun Gumukmas, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, saat di posko SDN Supiturang 4, Kamis (20/11/2025) [Verdy/SuaraJatim]
Baca 10 detik
  • Imron Hamzah dan putranya lari menyelamatkan diri dari erupsi Semeru (Wedus Gembel) yang datang sangat cepat dan destruktif, tanpa sempat mengemas barang. 

  • Erupsi Gunung Semeru pada Rabu (19/11/2025) sore menyebabkan kepanikan massal, menghancurkan pemukiman warga Dusun Gumukmas dalam waktu singkat. 

  • Para penyintas erupsi Semeru, termasuk Imron, kini mengungsi di SDN Supiturang 4 dan sangat membutuhkan bantuan logistik, selimut, dan kebutuhan bayi.

SuaraJatim.id - Wajah lelah jelas tergurat di balik masker biru yang dikenakan Imron Hamzah. Di tengah hiruk-pikuk pengungsian di SDN Supiturang 4, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pria ini tampak tak tenang. Ia terus mondar-mandir sembari menggendong putranya yang masih kecil, mencoba menenangkan sang buah hati di tengah situasi yang serba tak pasti.

Imron adalah satu dari ratusan potret pilu warga yang harus merelakan kehidupannya berubah drastis dalam sekejap mata. Erupsi Gunung Semeru yang terjadi pada Rabu (19/11/2025) sore, bukan hanya memuntahkan material vulkanik, tetapi juga mengubur harapan dan tempat tinggal warga di Dusun Gumukmas, Desa Supiturang, Kabupaten Lumajang.

Bagi generasi muda yang melihat bencana ini dari layar smartphone, mungkin sulit membayangkan betapa cepatnya alam mengambil alih. Namun bagi Imron, memori tentang langit yang mendadak gelap dan gemuruh lahar masih terekam jelas.

Di posko pengungsian, Kamis (20/11/2025), Imron berbagi kisah horor yang dialaminya. Tidak ada peringatan panjang, tidak ada waktu untuk mengemas barang berharga. Prioritasnya hanya satu nyawa keluarga.

"Saya di sini dari kemarin jam 3 sore. Lahar turun, saya langsung ke sini buru-buru mengungsi," ujar Imron dengan suara bergetar, kepada wartawan.

Fenomena Awan Panas Guguran (APG) atau yang akrab disebut warga lokal sebagai Wedus Gembel, turun dengan kecepatan yang tak masuk akal. Bagi warga lereng Semeru, ini adalah ancaman kematian yang nyata. Kecepatan luncuran material vulkanik kali ini dirasakan sangat berbeda dan jauh lebih agresif dibandingkan erupsi-erupsi kecil sebelumnya.

"Terlalu cepat waktunya. Jam setengah tiga aliran lava itu itu muncul, dan pelan-pelan mengarah ke bawah di mana banyak desa," ucapnya menggambarkan awal mula petaka tersebut.

Kerusakan yang ditimbulkan sangat masif. Wilayah utara yang menjadi jalur aliran lahar kini berubah menjadi lautan abu dan batu. Rumah-rumah yang dibangun dengan keringat bertahun-tahun, lenyap tak berbekas hanya dalam hitungan jam.

Imron memberikan gambaran betapa destruktifnya aliran lahar dingin dan panas yang menerjang pemukiman padat penduduk tersebut.

Baca Juga: Bahas Erupsi Gunung Semeru, Ini yang Diwanti-wanti Ketua DPR Puan Maharani!

"Lahar mengalir ke sebelah utara, dimana banyak desa, banyak rumah. Intinya pemukiman warga. Sudah, dalam satu jam habis itu," lanjutnya.

Saat bencana terjadi, logika harta benda sudah tidak lagi berlaku. Imron menceritakan bahwa kepanikan massal tak terhindarkan. Suara teriakan warga bersahutan dengan gemuruh gunung. Dalam situasi kacau balau itu, instingnya sebagai kepala keluarga mengambil alih.

"Kejadiannya cepat sekali, tiba-tiba turun lahar, muncul wedus gembel, sudah warga langsung panik dan berlarian mencari zona aman. Saya juga bawa anak dan istri langsung ke sini," ucapnya.

Kini, SDN Supiturang 4 menjadi rumah sementara bagi Imron dan puluhan keluarga lainnya. Tanpa kasur empuk, tanpa kepastian kapan bisa kembali atau apakah masih ada rumah untuk kembali. Bantuan logistik, selimut, dan kebutuhan bayi menjadi hal yang paling krusial saat ini bagi para penyintas.

Kontributor : Verdy

Load More