Menurut Agus, pihak dinas sudah mengetahui bila Parti berkasus di Singapura sejak tahun 2017. Namun pihaknya tak bisa memberikan bantuan hukum ke yang bersangkutan, Agus berdalih pihaknya tak punya wewenang.
“Ini (kasus) antarnegara, kapasitas dari pemerintah pusat. Jadi kami istilahnya nggak mampu untuk mensupport ke arah itu (membarikan bantuan hukum). Jadi kalau sudah antarnegara tentunya di sini kedutaan yang mengambil peran,” tuturnya.
Mencontoh Desa Gogodeso
Sikap pemerintah desa dan kabupaten terhadap kasus Parti terbilang tak acuh. Sikap ini semestinya tidak terjadi. Apalagi desa di wilayah lain sudah membuktikan bahwa mereka bisa berkontribusi dalam menyelesaikan masalah PMI-nya.
Baca Juga:552 TKI Ilegal Dipulangkan dari Malaysia
Seperti Pemdes Gogodeso Kabupeten Blitar. Pemdes ini memiliki perhatian lebih terhadap persoalan PMI. Pihak desa juga aktif memberikan bantuan, termasuk berperan sebagai penyambung lidah PMI yang bermasalah ke keluarga.
Misalnya dalam kasus Dewi Eko Yuliani, eks PMI yang bermasalah di Malaysia. Pemdes Gogodeso proaktif membantu permasalahan yang dihadapi Dewi. Tentunya pihak desa tak berjalan sendiri, tapi juga dibantu KOPI setempat.
Dewi merupakan eks TKI yang menjadi korban human trafficking. Sejak menjadi PMI dari 2012 hingga pertengahan 2019, Dewi tak pernah mendapatkan hak-haknya sebagai PMI. Ia tak pernah mendapatkan gaji, hingga akhirnya ia depresi di negeri orang.
Kasus ini bermula saat Dewi kepincut dengan bualan petugas lapangan (PL) atau yang lebih tenar dengan istilah calo.
Si calo menjanjikan pekerjaan layak kepada Dewi, syaratnya pun mudah, Dewi hanya tinggal berangkat, tak perlu mengurus dokumen.
Baca Juga:Lagi, Malaysia Deportasi Ratusan TKI di Tengah Pandemi Corona
Benar saja, Dewi berangkat tanpa mengurus dokumen perizinan. Hal ini lah yang menjadi awal petaka bagi Dewi. Ia memang memperoleh pekerjaan di Malaysia.