SuaraJatim.id - Kabar terbaru terkait Vaksin Nusantara diungkap Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekular Universitas Airlangga Profesor Chairul Anwar Nidom.
Ia mengatakan Pemerintah Turki ternyata berminat membeli Vaksin Nusantara berbasis sel dendritik dari Indonesia. Profesor Chairul Anwar Nidom mendengar kabar tersebut dari Dokter Terawan Agus Putranto.
Dalam dialog di kanal Youtube Siti Fadilah, Kamis (19/8), Nidom menyampaikan bahwa vaksin Nusantara rencananya akan di pesan negara Turki sebanyak 5,2 juta dosis.
"Yang jelas, memang luar negeri sudah ada yang minat. Saya dapat informasi dari Dokter Terawan Agus Putranto (penggagas vaksin Nusantara) bawa ada keinginan dari negara Turki membeli vaksin Nusantara," kata Chairul Anwar Nidom dikutip dari ANTARA.
Baca Juga:Bersifat Individual, Kemenkes Tegaskan Vaksin Nusantara Tidak Bisa Diperjualbelikan
"Pada acara tersebut saya sampaikan bawa untuk tindak lanjutnya apakah nanti akan dikelola G to G (antarpemerintah) atau antar-business to business (transaksi bisnis) saya enggak tahu," katanya.
Menurut Nidom, pemerintah Turki bahkan menawarkan uji klinik untuk fase 3 vaksin Nusantara dilakukan di negara mereka.
"Untuk Turki, vaksin Nusantara ini justru menguntungkan, karena terus terang bahwa vaksin Nusantara ini dari aspek risiko toksisitas (keracunan), faktor sosial agama itu kan nggak ada masalah. Jadi kalau dia bisa menangkap itu, paling tidak negara Islam akan di-cover sama Turki," katanya.
Nidom menilai vaksin Nusantara merupakan potensi bagi Indonesia untuk dijadikan aspek ekonomi berkat terobosan baru dalam teknologi kesehatan dari sebuah vaksin yang sudah berumur 300 tahun itu.
Berdasarkan pengamatan aspek sains, pada uji klinik fase 1 dan 2 pada para relawan, tidak ditemukan masalah, bahkan para relawan merasa lebih nyaman usai penyuntikan vaksin Nusantara.
Baca Juga:Pakar: Jika Serius Ingin Segera Kendalikan Pandemi, Harusnya Vaksin Nusantara Dipakai
"Perbedaannya, vaksin Nusantara karena sel dendritik itu tidak terjadi inflamasi, sementara vaksin yang konvensional ini akan terjadi inflamasi," katanya.
Inflamasi yang dimaksud adalah kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) yang kerap dialami peserta vaksinasi COVID-19 seperti reaksi demam, kepala pusing, bengkak, bercak kemerahan dan sebagainya usai seseorang menerima suntikan vaksin konvensional.
"Vaksin konvensional yang saya maksud adalah yang berbasis inactivated virus (virus yang dimatikan) maupun platform mRNA. Teknologi memasukkan sesuatu ke dalam tubuh seseorang dengan bahan asing itu adalah konvensional," katanya.
Sedangkan sel dendritik pada vaksin Nusantara, kata Nidom, diterapkan dengan cara mengeluarkan 'mesin' di dalam tubuh untuk diolah di luar tubuh, kemudian setelah aktif dimasukkan kembali ke dalam tubuh penerima manfaat. "Ini kan teknologi baru," katanya. ANTARA