SuaraJatim.id - Kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Perak Surabaya I Ketut Kusna Dedi mengatakan dua tersangka pelaku kekerasan terhadap jurnalis Nurhadi tidak ditahan karena ada permintaan dari Polda Jatim dan Polrestabes Surabaya.
Permintaan itu disampaikan kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur melalui surat yang dikirimkan pada 24 Agustus 2021 lalu. Hal ini disebutkan Ketut ketika menemui perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Surabaya dan pengacara Nurhadi, Senin (30/8/2021) siang.
Ketut mengatakan kewenangan untuk penahanan sebenarnya ada pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur karena berkaitan dengan lokasi perkara atau locus delicti.
"Kami hanya tanda tangan administrasi, pengendali kebijakan ada di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Dalam kasus ini, yang kami lakukan sifatnya hanya administratif karena berkaitan dengan locus delicti di mana kejadian (penganiayaan) ada di wilayah hukum kami," kata Ketut, Senin (30/8/2021) siang.
Baca Juga:Terkait OTT Probolinggo, KPK Bakal Periksa Bupati di Polda Jatim
Ia menjelaskan, berdasarkan apa yang disampaikan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dua tersangka; Firman Subkhi dan Purwanto tidak ditahan karena dianggap kooperatif.
Selain itu ada surat permintaan dari kepolisian yang meminta tersangka tidak ditahan dengan alasan tenaganya masih dibutuhkan oleh institusi. Kemudian, juga ada permohonan dari keluarga tersangka yang menjamin bahwa keduanya akan bersikap kooperatif.
Merugikan Polri
Menanggapi adanya surat dari kepolisian yang meminta agar tersangka tidak ditahan, ketua AJI Surabaya, Eben Haezer mempertanyakan komitmen kepolisian dalam kasus ini.
Dia menyebutkan, tindakan penganiayaan yang dilakukan 2 tersangka adalah tindakan yang merugikan nama baik institusi Polri.
Baca Juga:Penistaan Agama, Muhammad Kece Dilaporkan ke Polda Jatim
"Namun polisi malah meminta agar terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan. Bagi kami ini merupakan sesuatu yang tidak elok untuk institusi Polri," kata Eben Haezer melalui pernyataan tertulis.
Dia menambahkan, wewenang untuk menahan atau tidak menahan tersangka memang tergantung pada pertimbangan subyektif dari penyidik maupun jaksa. Namun dia berharap agar mereka yang berwenang memutuskan ditahan atau tidak, juga mempertimbangkan kondisi korban.
Menurutnya, tidak ditahannya tersangka membuat korban tidak bisa leluasa beraktivitas karena merasa terancam.
"Korban saat ini tidak lagi bisa beraktivitas menjalankan profesinya dan belum bisa kembali ke rumah karena merasa keamanannya masih terancam," ujarnya menegaskan.
Eben mengatakan, dalam pertemuan dengan Kajari Tanjung Perak, timnya menyampaikan sejumlah alasan yang sejatinya bisa menjadi dasar untuk dilakukannya penahanan terhadap tersangka.
Pertama, sejak penganiayaan pada 27 Maret 2021 hingga sekarang, Nurhadi masih mengalami trauma dan merasa keamanannya terancam.
Kedua, hingga hari ini Nurhadi berserta Istri masih belum dapat menjalankan profesinya sebagai jurnalis bahkan belum dapat kembali ke rumahnya dengan alasan situasi keamanan.
Ketiga, apa yang telah dilakukan oleh para tersangka telah mencederai prinsip-prinsip kebebasan pers di Indonesia.
Keempat, para tersangka adalah orang-orang yang terampil dan terlatih dalam menggunakan alat-alat kuasa serta belum dicopot keanggotaannya dari Polri.
Kelima, para tersangka masiih berstatus anggota Polri aktif sehingga dimungkinkan memiliki akses untuk menghilangkan barang bukti serta akses komunikasi dengan para pelaku lain yang kami yakini turut terlibat.
"Kami menyadari bahwa penahanan tersangka maupun terdakwa merupakan kewenangan Subjektif Penyidik atau Penuntut Umum, namun dalam hal ini seharusnya Jaksa Penuntut umum juga mempertimbangan alasan-alasan objektif sebagaimana kami sampaikan tadi," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Nurhadi ialah jurnalis Tempo di Surabaya yang dianiaya sekelompok orang saat menjalankan tugas jurnalistik di di Gedung Samudra Bumimoro.
Di gedung tersebut berlangsung resepsi pernikahan antara anak Angin Prayitno Aji, bekas Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu yang, serta anak Kombes Pol Ahmad Yani, mantan karo Perencanaan Polda Jatim.
Di gedung Samudra Bumimoro itu, Nurhadi berencana meminta keterangan terkait kasus dugaan suap yang dilakukan oleh Angin Prayitno Aji. Kedatangan Nurhadi ke lokasi rupanya membuat marah para pelaku yang berjumlah belasan orang.
Mereka kemudian menganiaya Nurhadi lalu merusak sim card di ponsel miliknya serta menghapus seluruh data dan dokumen yang tersimpan di ponsel tersebut.
Setelah peristiwa itu, Nurhadi melaporkan kasus tersebut ke Polda Jatim dengan didampingi Aliansi Anti Kekerasan Terhadap Jurnalis yang beranggotakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, KontraS, LBH Lentera, LBH Pers, dan LBH Surabaya.
Penyidik pun akhirnya menjerat dua tersangka dengan pasal 18 ayat 1 UU Pers, subsidair pasal 170 ayat 1 KUHP, subsidair Pasal 351 ayat 1 KUHP, dan subsidair pasal 355 ayat 1 KUHP.