"Kolom yang berukir, berhubung mungkin harganya mahal, maka orang-orang lokal kemudian memodifikasi, jadi beli besi polos kemudian ditambah ukiran kayu dan ditempelkan di situ, jadi seolah-olah itu besi berukir, padahal sebenarnya itu kayu. Karena itu kumpulan orang-orang lokal, kalau orang-orang Eropa biasanya mereka sanggup membeli sehingga mengimpor," imbuhnya.
![Kantor PCNU Kota Surabaya Tampak Gagah Dengan Baduk Duwurnya. [SuaraJatim/Dimas Anngga]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/08/17/15220-kantor-pcnu-kota-surabaya-tampak-gagah-dengan-baduk-duwurnya.jpg)
Di kesempatan ini, dia menjelaskan tentang perpaduan budaya Eropa dan Jawa, khususnya di daerah Timur Pulau Jawa, sehingga tak serta-merta membawa kebudayaan bangunan Eropa saja.
"Arsitektur namanya Indische, perkawinan Eropa dengan Timur Jawa. Misalnya ada teras, namun di Eropa tidak ada teras karena suhunya dingin, terus yang kedua, kalau diamati bangunan itu unik karena ada pintu di samping, itu biasanya jika ada tamu di depan orang-orang atau keluarga perempuan biasanya lewat samping, tidak boleh lewat depan, atau jika ada bancakan, itu makanan keluar dari samping. Semua model rumah seperti itu pasti ada pintu samping yang tembus ke dapur atau belakang rumah," lengkapnya.
Meski begitu, sudah sedikit sekali bangunan berbentuk asli di Kawatan dan Bubutan Surabaya. Hal ini disebabkan banyaknya gedung-gedung tua dirombak sedemikian rupa menjadi bangunan baru untuk perdagangan.
Baca Juga:Didepak Persebaya, Aji Santoso Resmi Latih Persikabo 1973
Namun, keklasikan bangunan Kantor PCNU Kota Surabaya masih kental dengan ornamen Eropa pada era kolonial Belanda.
"Semua rumah di Kawatan dan Bubutan menggunakan model seperti itu, jadi ada teras, rumahnya presisi, ada pintu dan jendela, ruang tamu dan belakang kamar, ada dapur dan kamar mandi biasanya terpisah dari rumah, itu biasanya sudah direnovasi sehingga sudah gabung," bebernya.
"Hanya ada beberapa saja yang masih berbentuk bangunan asli, bangunan sebelahnya masih hampir sama, dua lantai, Indische, jadi masih banyak ornamen kayu, tapi yang menarik adalah kolomnya dari besi yang kemudian diukir kayu," ujarnya melengkapi.
Sementara itu, semakin sedikitnya bangunan-bangunan tua di area tersebut disebabkan kurang kuatnya peraturan atau regulasi, sehingga sedikit demi sedikit bangunan tua di area Kawatan maupun Bubutan Surabaya menjadi baru.
"Masalahnya Pemerintahan Kota punya regulasi yang namanya kawasan Cagar Budaya, tetapi itu tidak jalan, kan tidak semua rumah itu berstatus Cagar Budaya, hanya rumah-rumah yang memiliki syarat khusus yang punya sejarah," ucapnya.
Dalam regulasi tersebut, peraturan daerah untuk kawasan cagar budaya harus dipertegas lagi, agar tidak semakin berkurangnya bangunan tua di Surabaya. Karena dengan adanya bangunan era kolonial Belanda, bisa menjadi kunci penting pariwisata, terlebih lagi untuk Kota Tua.