SuaraJatim.id - Kurban menjadi salah satu bentuk ibadah yang penting dalam Islam, dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah sebagai wujud ketakwaan kepada Allah SWT.
Di Indonesia, praktik qurban patungan—di mana beberapa orang urunan dana untuk membeli satu ekor sapi.
Secara fikih, patungan kurban diperbolehkan untuk sapi dan unta, maksimal tujuh orang. Namun demikian, KH. Bahauddin Nursalim atau Gus Baha mengingatkan bahwa pelaksanaan qurban tidak semata soal teknis hukum, melainkan juga menyangkut niat dan esensi spiritual.
Dalam salah satu ceramahnya, Gus Baha memberikan refleksi kritis terhadap fenomena qurban patungan yang kini semakin umum dilakukan di berbagai lapisan masyarakat, terutama di kalangan komunitas pekerja atau lingkungan pendidikan.
Baca Juga:Gus Baha Berikan Amalan di Hari Arafah untuk yang Tidak Berangkat Haji
Menurut beliau, patungan qurban memang dibolehkan, tetapi penting untuk tetap menjaga semangat ibadah sebagai bentuk penghambaan yang ikhlas dan pribadi.
Gus Baha membuka dengan contoh konkret: “Sekarang kan urunan Rp1 juta untuk sapi. Tapi ya, kalau sapinya limousin harganya bisa sampai Rp70 juta, jadi urunan bisa sampai Rp10 juta per orang.” ujar Gus Baha dikutip dari YouTube 99 Kongkow.
Gus Baha menekankan bahwa sah saja jika seseorang tidak mampu berqurban sendiri, tetapi jangan sampai qurban berubah menjadi kegiatan yang kehilangan makna karena dilakukan hanya demi kebersamaan atau sekadar menyesuaikan dengan orang lain.
Dalam ceramah yang sama, Gus Baha menyindir praktik qurban kolektif yang terlalu diatur dan direncanakan secara sosial hingga kadang membuat individu tidak lagi fokus pada aspek ibadahnya.
Ia menyatakan, “Kalau bisa dipanggil (masuk surga) Januari, ya langsung saja. Ngapain nunggu Desember gara-gara bareng teman.” jelas Gus Baha.
Baca Juga:Amalan dari Syekh Nawawi, Gus Baha: Baca 7 Kali Setelah Salat Jumat
Maksudnya, amal ibadah semestinya dilakukan segera dan mandiri, tidak perlu menunggu kesiapan kolektif yang justru bisa menunda amal saleh.
Antara Kesederhanaan, Sosial, dan Niat yang Mendasar
Gus Baha juga menyoroti bagaimana sebagian masyarakat masih memandang qurban dari sisi gengsi dan ukuran hewan. Ia menyebut fenomena di mana orang enggan menyembelih kambing atau domba kecil karena takut dianggap kurang mampu.
“Orang Jawa itu kadang salah kaprah. Karena nggak mampu beli sapi, akhirnya nggak nyembelih kambing. Anak-anaknya sampai malu ikut panitia,” ujar beliau.
Padahal menurut Gus Baha, menyembelih hewan yang lebih kecil tetap sah secara syariat dan tidak mengurangi nilai ibadahnya selama dilakukan dengan niat yang benar.
Ia menyebut praktik sahabat Nabi, Ibn Abbas, yang setiap tanggal 10 Dzulhijjah menyembelih “pita” sejenis kambing kecil sebagai qurban. Hal ini dilakukan bukan karena tidak mampu, melainkan untuk menghindari rasa tomah atau keinginan berlebihan terhadap sesuatu yang bukan haknya.
“Minimal keluarga itu tidak tomah,” katanya. Pesan ini menekankan pentingnya menjaga kemurnian niat dalam beribadah, bukan mengejar gengsi sosial atau pembagian daging.
Gus Baha juga menyoroti bagaimana alasan kesehatan kadang menjadi dalih untuk menghindari qurban. Misalnya, seseorang tidak mau menyembelih sapi karena memiliki kolesterol tinggi dan tidak bisa makan daging.
Beliau menanggapi hal ini dengan nada santai, “Kalau darah tinggi, makan setahun pisang, nggak masalah. Tapi jangan sampai malah tidak ikut qurban sama sekali.”
Menurut beliau, qurban bukan hanya tentang memakan daging, tetapi tentang menjalankan ibadah dan berbagi dengan orang lain. Jika tidak bisa mengkonsumsinya, tetap bisa ikut serta dengan meniatkan amal.
Di sisi lain, Gus Baha juga mengingatkan bahwa dalam syariat, ibadah qurban memiliki batasan minimal dan tidak ada ketentuan harus mewah.
“Pokoknya tanggal 10 itu kesunahan menyembelih apa saja asal halal, asal tidak cacat,” ujarnya.
Artinya, qurban tidak harus menunggu kemampuan finansial yang besar. Yang terpenting adalah menjalankannya sesuai kemampuan dan dengan keikhlasan hati.
Dari seluruh penjelasannya, Gus Baha menekankan bahwa qurban adalah ruang untuk mendidik keikhlasan, bukan arena kompetisi sosial. Jika patungan dilakukan dengan niat ibadah dan sesuai syariat, maka itu baik.
Namun jika hanya demi formalitas, gengsi, atau sekadar "biar dapat bagian daging", maka makna qurban bisa bergeser jauh dari tujuannya.
Kontributor : Dinar Oktarini