- Tragedi Simpang Club 1945 jadi sisi kelam revolusi Surabaya, penuh kekacauan dan aksi balas dendam.
- Gedung Simpang Club dijadikan tempat penyiksaan dan eksekusi terhadap mereka yang dituduh pro-penjajah.
- Kisah ini mengingatkan bahwa perjuangan kemerdekaan juga meninggalkan luka dan pelajaran berharga.
SuaraJatim.id - Menjelang Hari Pahlawan 10 November 2025, Surabaya kembali dipenuhi semangat mengenang arek-arek Suroboyo yang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Namun di balik pekik “Merdeka atau Mati!”, tersimpan kisah kelam yang jarang dibicarakan.
Tragedi Simpang Club menjadi salah satu episode paling berdarah dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Berikut lima fakta yang mengungkap sisi lain perjuangan di Kota Pahlawan sebagaimana dikutip dari YouTube Matahati Pemuda.
1. Terjadi Saat Euforia Kemerdekaan Membara
Baca Juga:7 Rahasia Dahsyat di Balik Surah Yasin Ayat 9: Pelindung Diri dari Segala Bahaya
Setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945 dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, suasana di Surabaya berubah drastis.
Rakyat yang selama ini tertindas ingin membalas dendam atas penderitaan mereka. Kelompok-kelompok bersenjata bermunculan, mulai dari laskar rakyat, pemuda, hingga bekas jagoan kampung yang mengusung semangat revolusi.
Namun di tengah semangat kemerdekaan itu, kekacauan juga tumbuh. Pemerintah yang baru terbentuk belum mampu mengendalikan keadaan.
Masa itu dikenal sebagai periode bersiap, masa di mana semangat perjuangan bercampur dengan amarah terhadap penjajahan.
2. Gedung Simpang Club Jadi Tempat Penyiksaan dan Eksekusi
Baca Juga:5 Fakta Menarik di Balik Resolusi Jihad KH Hasyim Asyari, Inspirasi Hari Santri 2025
Gedung Simpang Club yang kini dikenal sebagai Balai Pemuda Surabaya dulunya adalah tempat dansa dan pertemuan kaum Belanda.
Pada September hingga Oktober 1945, bangunan megah itu berubah menjadi lokasi penahanan, interogasi, dan eksekusi.
Ratusan orang dari berbagai etnis seperti Belanda, Indo, Ambon, Manado, bahkan pribumi yang dituduh pro-penjajah ditahan di sana. Mereka diinterogasi, disiksa, lalu dieksekusi di tempat.
Senjata rampasan Jepang, pedang, dan bambu runcing menjadi alat pembunuhan. Suara pekik “Merdeka atau mati” bergema di sekitar gedung yang saat itu berubah menjadi saksi kekejaman revolusi.
3. Kesaksian Leonor Sinsuandris yang Mengguncang
Salah satu saksi mata tragedi ini adalah Leonor Sinsuandris. Namanya tercatat dalam Arsip Nasional Belanda. Ia ditangkap oleh kelompok bernama Pemuda Republik Indonesia atau PRI karena dituduh memiliki bendera Belanda.