Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Sabtu, 29 Februari 2020 | 12:17 WIB
Warga Tumpang Pitu menggelar Salat Hajat di depan Kantor Gubernur Jatim pada Kamis (20/2/2020). [Suara.com/Dimas Angga P]

SuaraJatim.id - Warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi mengancam akan menutup tambang emas tumpang pitu karena merusak liingkungan. Itu dia katakan saat bertemu dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di Gedung Negara Grahadi, Jumat (28/2/2020) kemarin.

Mereka menuntut penghentian industri tambang emas. Pertemuan tersebut berlangsung tertutup bagi media selama kurang lebih 1,5 jam. Usai pertemuan, Khofifah beramah tamah dan berbincang dengan beberapa warga.

Sayangnya, Khofifah enggan memberi pernyataan ke media. Ia melimpahkan kepada Kepala Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Jatim Setiajit yang juga hadir dalam pertemuan.

"Biar Pak Setiajit saja, monggo," ujar Khofifah.

Baca Juga: Kenapa Tambang Emas Tumpang Pitu Harus Ditolak?

Setiajit yang berada tidak jauh dari Khofifah langsung menghampiri awak media. Ia menyebut pemberian sanksi administrasi baru bisa diberikan bila ada pelanggaran di Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

"Misalkan ada pelanggaran pasal 40, pasal 41, pasal 23, pasal 70, pasal 71, atau bahkan juga ada pelanggaran pasal 128 terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009," kata Setiajit.

Namun, ia yakin pelanggaran di dalam pasal-pasal itu tidak terjadi. Sehingga tidak memungkinkan dilakukan sanksi administrasi atau pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Kendati demikian, Setiajit mengaku bakal melakukan evaluasi, termasuk menginstruksikan inspektur tambang dan tim pengawas pertambangan untuk melihat ada tidaknya pelanggaran kerusakan lingkungan.

"Tapi saya yakin itu tidak terjadi karena sudah diawasi Kementerian LHK juga," tuturnya

Baca Juga: Lika Liku Penolak Tambang Tumpang Pitu Bersepeda Banyuwangi - Surabaya

Selain itu, pihaknya juga akan melihat ada tidaknya pemukiman yang terkena titik kordinat pengembangan kawasan pertambangan di Gunung Salakan. Terakhir terkait titik tangkapan air. Dinas ESDM bakal melakukan evaluasi terkait kemungkinan berkurangnya air di sekitar tambang.

Sementara itu, juru bicara warga Desa Sumberagung, Nur Hidayat, mengaku kecewa dengan hasil pertemuan. Menurutnya, Khofifah kurang memihak terhadap masyarakat yang terdampak tambang.

"Berkas sudah kami serahkan ke Gubernur, di situ harusnya Gubernur mempelajari laporan kita. Bukan justru mengadu dengan kelompok pro (tambang)," kata pria yang biasa dipanggil Dayat itu.

Warga mengklaim berkas yang diserahkan berisi kajian kerusakan lingkungan sesuai dengan undang-undang. Dengan itu, mereka berharap gubernur mencabut IUP PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan PT. Damai Suksesindo (DSI) di Gunung Tumpang Pitu dan Salakan.

Warga, kata Dayat, memberikan waktu 30 hari kepada gubernur untuk memberikan tanggapan atau keputusan.

"Apapun keputusannya akan kami tunggu," katanya.

Apabila gubernur tidak memberi jawaban atau keputusan, warga mengancam akan menutup tambang.

"Kalau Gubernur tidak memberikan keputusannya sesuai dengan yang dikatakan undang-undang, ya masyarakat yang akan menutup tambang," katanya.

Industri tambang emas di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya yang dikelola PT Merdeka Copper Gold (Tbk) melalui dua anak usahanya, PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI) memang mendatangkan dampak ekonomi bagi masyarakat yang direkrut jadi pekerja. BSI juga menjalankan program CSR di bidang pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur desa.

Namun di sisi lain, industri tambang menimbulkan konflik sosial dan dampak lingkungan jangka panjang. Sejak produksi tambang emas dimulai 2016-2017, beberapa kali terjadi konflik antara warga penolak tambang, perusahaan, dan aparat keamanan penjaga tambang.

Bahkan sejumlah warga penolak tambang dipenjara dengan tuduhan perusakan dan penyebaran faham komunisme. Konflik sosial dan dugaan pelanggaran HAM atas lingkungan yang sehat sedang diinvestigasi Komnas HAM.

Wilayah resapan air juga berkurang drastis karena kawasan gunung yang dulunya hutan lindung telah tereksploitasi dan tak mungkin bisa direklamasi. Warga juga terancam kehilangan tempat perlindungan dari tsunami karena gunung dan perbukitan telah dan akan dieksploitasi untuk tambang.

Atas dasar itulah, warga menolak tambang yang hanya menguntungkan kalangan elit dan pengusaha serta merusak ekosistem alam dalam jangka panjang. Warga memilih mempertahankan ekosistem alam yang manfaatnya dirasakan seumur hidup daripada tambang yang manfaatnya terbatas oleh waktu dan hanya dirasakan segelintir orang.

Lika liku

Naik bus malam dari Kabupaten Banyuwangi ke Kota Surabaya, Jawa Timur, bisa ditempuh selama 6 jam lebih di luar jalur tol. Melintasi 9 kabupaten dan kota, panjang perjalanan sekitar 300 kilometer.

Sepanjang itu, sebagian warga dari 5 desa di Kecamatan Pesanggaran, bersepeda untuk menemui Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Mengayuh sepeda selama 5 hari, didorong keinginan menuntut Khofifah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) emas di kecamatan mereka.

"Kita intinya nggak mau pindah dari situ, nggak mau ruang hidup kita dirampas," kata Nur Hidayat, warga Desa Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran, pada hari pertama aksi mereka di Gubernuran Jawa Timur, Kamis (20/2/2020).

Dalam rilis yang Suara.com dapatkan, mereka memiliki 3 alasan menolak tambang emas Tumpang Pitu. Pertama Bukit Tumpang Pitu yang ditambang jadi penuntun nelayan pulang dari laut, selain Pulau Nusa Barong dan Gunung Agung di Bali.

Kedua Bukit Tumpang Pitu maupun Salakan menjadi harapan warga berlindung dari angin tenggara maupun ancaman tsunami. Angin tenggara yang kencang rutin datang, sementara tsunami pernah menerjang Dusun Pancer, Desa Sumberagung itu, tahun 1994.

Di tepi jalan Dusun Pancer, berjajar rambu jalur evakuasi, yang sebagian panahnya menunjuk ke barisan perbukitan di sebelah utara. Lokasi Bukit Salakan, Lompongan dan Gendruwo, yang berjajar itu menjadi tempat evakuasi alami bagi warga bila terjadi tsunami.

Ketiga, Bukit Tumpang Pitu menjadi tempat warga mendapatkan aliran air dan mencari tanaman obat secara turun temurun. Setelah berproduksi di Tumpang Pitu, warga meyakini perusahaan tambang mulai menggarap Salakan dengan proyek geolistrik mereka di sana.

Ketiga alasan itu mendorong 63 orang, sebagian wanita dan anak, berangkat bersepeda ke Surabaya, Sabtu (15/2/2020). Mereka sempat singgah di beberapa tempat yang warganya juga memiliki konflik agraria, misalnya di lokasi semburan Lumpur Lapindo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.

Sesampainya di Surabaya 12 orang rutin berdemo di Gubernuran Jawa Timur, selebihnya pulang atau melanjutkan aksi mengayuh sepeda ke Istana Kepresidenan di Bogor. Menginap di Kantor Walhi Jatim, mereka pulang pergi berdemonstrasi di depan Gubernuran Jawa Timur setiap hari.

"Yang kita khawatirkan kan itu, Gunung Salakan dijadikan pintu masuk untuk menggarap semua gunung yang mengelilingi 5 desa," kata Dayat.

Sebelum di Surabaya dan Bogor, penolakan warga pada upaya penambangan juga diperlihatkan dengan menghadang kelompok orang yang menuju Salakan dengan dikawal kepolisian. Warga bahkan mendirikan tenda di sudut pemukiman untuk terus menutup dua jalan masuk ke Salakan.

Dayat mengatakan saat warga Kecamatan Pesanggaran yang menolak tambang berkumpul, jumlahnya sekitar 400 orang. Sementara warga lainnya memberikan dukungan dengan menyumbangkan bahan makanan, untuk dimasak di dapur umum tenda warga.

Siwi Lestari (42) warga Dusun Pancer ikut melakukan aksi di Gubernuran Jawa Timur sejak Kamis (20/2/2020) bersama putrinya usia 5 tahun. Dia mengaku menolak tambang demi memelihara ruang hidup anak dan cucunya.

"Saya tidak mau pindah dari wilayah saya Pancer, terutama Salakan, itu saja," kata Siwi.

Aksi mereka membuahkan hasil dimana perwakilan ditemui Khofifah secara tertutup di hari ke 9 mereka beraksi di depan Gubernuran Jawa Timur, atau hari ke 22 penutupan jalan ke Salakan oleh warga di Pancer, Banyuwangi sana. Namun warga kecewa setelah pertemuan itu karena menilai Khofifah tak menanggapi tuntutan mereka.

Seperti diberitakan Suara.com sebelumnya, mereka mengatakan Khofifah justru membahas pro dan kontra warga Pancer akan operasi tambang emas. Padahal mereka lebih ingin membahas dampak lingkungan operasi tambang emas.

"Di situ harusnya gubernur dengar laporan kita, bukan justru mengadu ke kelompok pro (tambang). Tapi lebih pada penyelamatan lingkungan dan masyarakat di sana," kata Dayat setelah bertemu Khofifah, Jumat (28/2/2020).

Pemerintah Provinsi Jawa Timur sejak awal menanggapi aksi sebagian warga Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, itu dengan pendekatan hukum. Warga diminta dengan jelas menyebutkan pelanggaran hukum apa yang telah dilakukan perusahaan tambang.

Kepala Dinas ESDM Jawa Timur Setiajid mengatakan sejauh ini pihaknya tidak melihat adanya pelanggaran aturan oleh perusahaan tambang emas di Kecamatan Pesanggaran. Pihaknya akan menindaklanjuti tuntutan pendemo di Gubernuran Jawa Timur itu dengan menugaskan Inspektur Tambang dan Tim Pengawas Pertambangan Jatim.

"Kami akan menugaskan ke sana apakah benar ada permukiman yang dilanggar oleh mereka, apakah benar ada kerusakan lingkungan, apakah benar ada tempat evakuasi tsunami yang kemudian dilakukan penggalian, seperti itu," kata Setiajid.

Evaluasi dan pengawasan perusahaan tambang akan dilakukan di dua tempat, Bukit Tumpang Pitu dan Bukit Salakan. Di Tumpang Pitu untuk mengetahui ada tidaknya pelanggaran pada produksi tambang emas yang sudah dilakukan, sedangkan di Salakan menyorot potensi dampak eksplorasi tambang.

Perusahaan pertambangan tersebut adalah PT Bumi Suksesindo (BSI) yang telah berproduksi di Bukit Tumpang Pitu dan PT Damai Suksesindo (DSI) yang hendak mengerjakan Bukit Salakan. Laman resmi PT Merdeka Copper Gold sebagai induk kedua perusahaan itu menerangkan IUP yang telah mereka dapatkan.

PT BSI memiliki IUP produksi untuk Proyek Tujuh Bukit dan meliputi area seluas 4.998 hektare yang berlaku 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali, masing-masing untuk jangka 10 tahun. Sedangkan PT DSI memiliki IUP eksplorasi untuk lahan seluas 6.558,46 hektare sejak Desember 2012.

Setiajid mengatakan pencabutan IUP belum akan dilakukan, melainkan evaluasi dan pengawasan operasi pertambangan. Lantaran sejauh ini pihaknya meyakini perusahaan tambang di Kecamatan Pesanggaran tidak melanggar aturan.

"Saya yakin bahwa itu tidak terjadi (pelanggaran) karena sudah diawasi oleh Kementerian LHK juga," ujar Setiajid.

Selain dialog, warga penolak tambang emas di Kecamatan Pesanggaran menyampaikan aspirasi mereka pada Khofifah dalam berkas laporan. Bila Khofifah tidak memberi keputusan dalam 30 hari mendatang atas daftar pelanggaran perusahaan tambang yang sudah diserahkan, mereka sendiri yang akan menutup pertambangan.

Load More