Merasa Dirugikan, Ibu Korban Zonasi: Anak Saya Stres dan Tidak Mau Sekolah

Rumah mereka di kawasan Batu Raden sebenarnya hanya berjarak kurang lebih satu kilometer dengan SMAN 2.

Dwi Bowo Raharjo
Kamis, 02 Juli 2020 | 16:05 WIB
Merasa Dirugikan, Ibu Korban Zonasi: Anak Saya Stres dan Tidak Mau Sekolah
Dwi Riska Hartoyo menyampaikan kekecewaannya terkait PPDB sistem zonasi tingkat sekolah menengah atas yang diterapkan Pemprov Jatim. (Beritajatim.com)

SuaraJatim.id - Dwi Riska Hartoyo menyampaikan kekecewaannya terkait penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi tingkat sekolah menengah atas yang diterapkan Pemprov Jawa Timur. Karena sistem tersebut, anaknya itu disebut mengalami stres kaarena tidak dapat sekolah negeri yang sudah diinginkan.

“Saya orang tua yang sangat dirugikan, sampai anak saya stres, sampai saat ini tidak mau bersekolah, karena kebanyakan kecurangan. Seandainya tidak ada kecurangan mungkin putri saya bisa menerima,” kata Riska saat ikut rapat di ruang Komisi D DPRD Jember, Jawa Timur, Kamis (2/7/2020).

Seperti diberitakan Beritjatim.com - jaringan Suara.com, anak Riska lulusan SMP Negeri 3 Jember dan ingin masuk SMA Negeri 2 dalam Penerima Peserta Didik Baru tahun ini.

Rumah mereka di kawasan Batu Raden sebenarnya hanya berjarak kurang lebih satu kilometer dengan SMAN 2. Ia semula yakin tak ada kesulitan memenuhi sistem zonasi yang mensyaratkan pemerimaan siswa baru berdasarkan kedekatan sekolah dengan tempat tinggal.

Baca Juga:KPAI Catat 83 Masalah PPDB 2020 di Indonesia, Paling Banyak di DKI Jakarta

Namun kejutan menghantam Dwi. Anaknya tidak diterima. Justru yang diterima adalah mereka yang sebenarnya memiliki tempat tinggal di kecamatan lain yang berjarak jauh dari SMAN 2, namun menggunakan surat keterangan domisili (SKD) yang berdekatan dengan sekolah.

Anak perempuan Dwi pun protes. “Ini ada yang dari Jenggawah bisa diterima. Dari mana ini Ma?” katanya, sebagaimana ditirukan Dwi. Jenggawah adalah kecamatan yang berjarak sekitar 20 kilometer dengan Jalan Jawa, Kecamatan Sumbersari, lokasi SMAN 2.

Anak perempuan Dwi sebenarnya bisa diterima di SMA Negeri 5. Namun anaknya sudah kadung patah arang dan merasa dicurangi.

“Mohon ya, Pak, rumah saya di Jalan Danau Toba, Batu Raden, jaraknya dari sekolah sekitar Rp 1,5 – 1,6 kilometer. Sekarang yang dari Jenggawah dan Wuluhan bisa masuk SMA 2 itu dari mana? Sampai anak saya stres. Bagaimana saya? Sampai sekarang tidak mau masuk SMA 5. Sampai saya dibikin pusing sama anak saya,” kata Dwi terisak.

“Kadang dia tertawa sendiri. Bagaimana seorang ibu melihat anaknya seperti itu? Enak yang pakai SKD, bisa leha-leha, anaknya diajari nyetir mobil. Tapi anak saya ini sampai gila, Pak. Sampai saya kirimkan (kabar) ke teman-teman: ini lo anak saya mojok. Makan ya gak makan, kadang menangis. Suami saya sampai bilang: ‘piye iki, Ma?’ Bagaimana ini solusinya?”

Baca Juga:Temui Kemendikbud, KPAI Laporkan Seabrek Masalah PPDB 2020 dari Ortu Murid

Surat keterangan domisili (SKD) memang jadi ‘surat sakti’ dan jalan pintas bagi sebagian orang tua untuk menyiasati sistem zonasi dalam PPDB tahun ini. Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan, SKD diperuntukkan pendatang dan dikeluarkan oleh kantor desa atau kelurahan.

Masalahnya, menurut Koordinator Komunitas Orang Tua Peduli Pendidikan Anak, David Susilo, mendadak muncul banyak SKD pada masa penerimaan siswa baru. “Tahun ini luar biasa. Mana mungkin dalam jarak radius kurang lebih seribu meter (dari SMA negeri), ada 170 siswa SMP dengan usia yang sama dan lulusan tahun ajaran 2020,” katanya keras.

“Saya sebagai sesama orang tua menjadi tidak nyaman. Mengapa siswa yang rumahnya di Kelurahan Muktisari, menggunakan SKD di Jalan Jawa, bisa masuk. Sebegitu mudahkah SKD mengubah domisili kependudukan, kata David.

Sebagian orang tua menolak melakukan kecurangan dengan membuat SKD dadakan untuk memuluskan sang anak masuk SMA negeri tujuan. Namun, menurut David, justru anak-anak mereka jadi bahan ejekan. “Akhirnya perkembangan anak didik tidak sehat. Dalam pendidikan, hukum tertinggi adalah kejujuran. Saya tidak ingin hak-hak anak saya dirampas,” katanya.

Decky, orang tua siswa lainnya, sempat bertengkar dengan sang anak karena tak mau memanipulasi SKD agar bisa masuk SMA Negeri 1 yang berjarak sekitar 1,1 kilometer. “Anak saya tidak mau memilih SMA. Akhirnya diterima di SMAN 3, saya harus memaksanya. Dia kecewa sekali dan bilang: ‘kenapa Ayah tidak mau kasih surat domisili?’ Lho buat apa, wong rumah saya (dekat) di sini. Kan lucu,” katanya. Dia mempertanyakan begitu mudahnya pemerintah mengeluarkan SKD.

Ketua Komisi D Hafidi menilai persoalan ada pada penyalahgunaan kewenangan oleh birokrasi. “Kedua, manipulasi data kependudukan dengan maksud tertentu. Hal ini harus segera kami sikapi,” katanya. Ia berjanji pekan depan menggelar rapat gabungan dengan Komisi A yang membidangi urusan kependudukan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini