7 Fakta Menarik Tentang Suku Osing: Pewaris Kerajaan Belambangan di Ujung Timur Jawa

Suku Osing di Banyuwangi, keturunan Kerajaan Belambangan, teguh menjaga tradisi leluhur. Bahasa, seni, & adat istiadat unik, harmoniskan Hindu, Islam & budaya lokal.

Budi Arista Romadhoni
Kamis, 30 Oktober 2025 | 10:25 WIB
7 Fakta Menarik Tentang Suku Osing: Pewaris Kerajaan Belambangan di Ujung Timur Jawa
Ilustrasi Suku Osing. [ChatGPT]
Baca 10 detik
  • Suku Osing keturunan Kerajaan Belambangan, simbol keteguhan menjaga budaya dan perlawanan Jawa timur.
  • Mereka memadukan warisan Hindu, nilai Islam, dan seni seperti Tari Gandrung sebagai wujud spiritualitas.
  • Desa Adat Kemiren jadi pusat budaya Osing, bukti tradisi kuno bisa lestari di tengah arus modernisasi.
 

SuaraJatim.id - Di ujung timur Pulau Jawa, terdapat komunitas unik yang dikenal dengan keteguhan dan kebanggaannya menjaga tradisi leluhur: Suku Osing.

Mereka hidup terutama di wilayah Banyuwangi dan dianggap sebagai keturunan langsung dari Kerajaan Belambangan, kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang tetap berdiri tegak bahkan setelah Majapahit runtuh.

Meski kini mayoritas masyarakat Osing telah memeluk Islam, jejak budaya dan spiritualitas kuno mereka masih terjaga kuat dalam bahasa, kesenian, serta adat istiadat yang khas.

Sebagaimana dikutip dari Eko History berikut tujuh fakta menarik tentang Suku Osing yang membuat mereka menjadi simbol keteguhan budaya di Nusantara.

Baca Juga:Situs Kuno Diduga Permukiman Era Majapahit Ditemukan Dekat Sungai Brantas

1. Pewaris Kerajaan Belambangan, Benteng Terakhir Hindu di Jawa

Suku Osing tidak muncul begitu saja. Mereka adalah keturunan langsung masyarakat Kerajaan Belambangan, kerajaan yang berdiri antara abad ke-15 hingga ke-18 di wilayah timur Pulau Jawa.

Belambangan dikenal sebagai benteng terakhir kebudayaan Hindu-Jawa setelah Majapahit runtuh. Ketika sebagian besar wilayah Jawa beralih ke Islam, masyarakat Belambangan tetap mempertahankan keyakinan dan adatnya.

Kegigihan mereka inilah yang melahirkan identitas Osing. Dalam sejarah, masyarakat Belambangan bahkan sering menolak tunduk pada kekuasaan Mataram Islam maupun VOC Belanda. Dari semangat perlawanan itu, lahirlah sebutan “Osing” yang berarti “tidak mau” atau “menolak”.

2. Asal-usul Nama “Osing”: Simbol Keteguhan dan Perlawanan

Baca Juga:BPCB Jatim Ekskavasi Situs Watesumpak yang Disebut Pernah Menjadi Pemukiman Elite di Zaman Majapahit

Kata Osing berasal dari istilah “balitusing”, yang artinya “tidak” dalam bahasa Jawa Kuno. Sebutan ini muncul karena masyarakat Belambangan dikenal keras kepala, tidak mau tunduk, dan selalu mempertahankan kebebasan.

Sikap “tidak mau menyerah” ini menjadi jati diri mereka hingga kini. Osing bukan sekadar nama etnis, melainkan simbol perlawanan terhadap penyeragaman budaya dan kekuasaan luar.

Itulah sebabnya masyarakat Osing sangat bangga dengan identitasnya, bahkan di era modern mereka tetap mempertahankan bahasa, kesenian, dan adat sendiri di tengah arus globalisasi.

3. Bahasa Osing: Campuran Jawa Kuno, Bali, dan Madura

Bahasa Osing menjadi ciri khas yang membedakan mereka dari masyarakat Jawa pada umumnya. Meski berakar dari bahasa Jawa Kuno, bahasa Osing memiliki struktur dan kosakata berbeda.

Contohnya, kata “tidak” dalam bahasa Jawa disebut “ora”, sedangkan dalam bahasa Osing disebut “osing”. Dari kata inilah nama suku ini berasal.
Bahasa mereka juga menyerap banyak unsur bahasa Bali dan Madura karena letak geografis Banyuwangi yang berdekatan dengan kedua wilayah tersebut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini