Apabila gubernur tidak memberi jawaban atau keputusan, warga mengancam akan menutup tambang.
"Kalau Gubernur tidak memberikan keputusannya sesuai dengan yang dikatakan undang-undang, ya masyarakat yang akan menutup tambang," katanya.
Industri tambang emas di Gunung Tumpang Pitu dan sekitarnya yang dikelola PT Merdeka Copper Gold (Tbk) melalui dua anak usahanya, PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI) memang mendatangkan dampak ekonomi bagi masyarakat yang direkrut jadi pekerja. BSI juga menjalankan program CSR di bidang pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur desa.
Namun di sisi lain, industri tambang menimbulkan konflik sosial dan dampak lingkungan jangka panjang. Sejak produksi tambang emas dimulai 2016-2017, beberapa kali terjadi konflik antara warga penolak tambang, perusahaan, dan aparat keamanan penjaga tambang.
Baca Juga:Kenapa Tambang Emas Tumpang Pitu Harus Ditolak?
Bahkan sejumlah warga penolak tambang dipenjara dengan tuduhan perusakan dan penyebaran faham komunisme. Konflik sosial dan dugaan pelanggaran HAM atas lingkungan yang sehat sedang diinvestigasi Komnas HAM.
Wilayah resapan air juga berkurang drastis karena kawasan gunung yang dulunya hutan lindung telah tereksploitasi dan tak mungkin bisa direklamasi. Warga juga terancam kehilangan tempat perlindungan dari tsunami karena gunung dan perbukitan telah dan akan dieksploitasi untuk tambang.
Atas dasar itulah, warga menolak tambang yang hanya menguntungkan kalangan elit dan pengusaha serta merusak ekosistem alam dalam jangka panjang. Warga memilih mempertahankan ekosistem alam yang manfaatnya dirasakan seumur hidup daripada tambang yang manfaatnya terbatas oleh waktu dan hanya dirasakan segelintir orang.
Lika liku
Naik bus malam dari Kabupaten Banyuwangi ke Kota Surabaya, Jawa Timur, bisa ditempuh selama 6 jam lebih di luar jalur tol. Melintasi 9 kabupaten dan kota, panjang perjalanan sekitar 300 kilometer.
Baca Juga:Lika Liku Penolak Tambang Tumpang Pitu Bersepeda Banyuwangi - Surabaya
Sepanjang itu, sebagian warga dari 5 desa di Kecamatan Pesanggaran, bersepeda untuk menemui Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Mengayuh sepeda selama 5 hari, didorong keinginan menuntut Khofifah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) emas di kecamatan mereka.
"Kita intinya nggak mau pindah dari situ, nggak mau ruang hidup kita dirampas," kata Nur Hidayat, warga Desa Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran, pada hari pertama aksi mereka di Gubernuran Jawa Timur, Kamis (20/2/2020).
Dalam rilis yang Suara.com dapatkan, mereka memiliki 3 alasan menolak tambang emas Tumpang Pitu. Pertama Bukit Tumpang Pitu yang ditambang jadi penuntun nelayan pulang dari laut, selain Pulau Nusa Barong dan Gunung Agung di Bali.
Kedua Bukit Tumpang Pitu maupun Salakan menjadi harapan warga berlindung dari angin tenggara maupun ancaman tsunami. Angin tenggara yang kencang rutin datang, sementara tsunami pernah menerjang Dusun Pancer, Desa Sumberagung itu, tahun 1994.
Di tepi jalan Dusun Pancer, berjajar rambu jalur evakuasi, yang sebagian panahnya menunjuk ke barisan perbukitan di sebelah utara. Lokasi Bukit Salakan, Lompongan dan Gendruwo, yang berjajar itu menjadi tempat evakuasi alami bagi warga bila terjadi tsunami.
Ketiga, Bukit Tumpang Pitu menjadi tempat warga mendapatkan aliran air dan mencari tanaman obat secara turun temurun. Setelah berproduksi di Tumpang Pitu, warga meyakini perusahaan tambang mulai menggarap Salakan dengan proyek geolistrik mereka di sana.